Tentang Hujan

Dari ayah aku mengerti, bahwa awan yang belum bercampur menjadi satu warna adalah pertanda hujan tidak akan segera datang. "Kamu lihat awan di sana, sebagian berwarna gelap, sebagian masih terang. Di sana ada yang besar, dan di bagian lain masih terpisah-pisah. Itu artinya masih lama hujan akan turun.", kata ayahku. Lantas aku bertanya, "Kenapa bisa begitu? Ramah (panggilan halus untuk ayah dalam Bahasa Madura, seperti Romo dalam Bahasa Jawa) tahu dari mana?". Dia menjawab, "Hujan itu kan berasal dari awan yang jadi mendung. Lalu awan terbuat dari apa? Dari uap air. Uap yang terpisah-pisah tidak akan jatuh karena terlalu ringan dan mudah terbawa angin. Tapi jika awan itu berkumpul jadi satu, maka akan semakin berat. Warna berubah semakin gelap. Uap air itu akan jatuh sebagai rintik hujan. Dari mana Ramah tahu? Belajar, baca buku, dan lihat langsung." Wajahku lalu terdiam, namun pikiranku bercabang memikirkan beberapa hal berbeda dalam satu waktu saat itu. 

Aku kagum padanya. Dalam satu cerita singkatnya, ia memberikan pengalaman, pengetahuan, aplikasi ilmu, nalar, dan semangat, yang semuanya terhubung menjadi satu. Itu saat yang tak pernah aku lupa sampai kini. Aku menjadi suka belajar, bernalar, mengamati alam, dan menikmatinya keindahannya, termasuk hujan. Sedikit aku lupa umurku berapa kala itu, aku sekitar kelas dua SD. Percakapan itu terjadi ketika aku ingin mandi hujan di luar, namun ayahku bilang hujannya masih lama akan datang.

Singkat cerita, jauh setelah itu, ketika aku SMA, jumat siang selepas shalat di masjid, adikku menagih janjiku untuk pergi berenang di Kota Sampang. Rumah kami di desa, sekitar 30 km atau hampir setengah jam perjalanan menuju pusat kota. Ia pulang dari masjid lebih dulu, terlalu bersemangat untuk berenang. Aku pun membalas ajakannya, "Bilang dulu sama ramah kalo mau ke Sampang." Iapun menunggu ayah pulang dari masjid dan tetiba, "Mah, aku mau ke Sampang ya sama mas mau berenang?" Ayah membalas, "Ke Sampang gimana, lihat itu ada mendung sebentar lagi mau hujan (sambil jarinya menunjuk awan mendung di arah barat laut)." Dengan ekspresi sedikit kecewa adikku berkata, "Mas ga boleh ke Sampang, kata ramah mau hujan." Aku dengan senyuman membalas, "Kan yang mau hujan di sini, bukan di Sampang. Lihat itu awannya ada di barat dan Sampang ada di timur. Jadi kita ga bakal kehujanan."  Dengan semangat ia berlari ke ayah dan bilang, "Mah kata mas yang mau hujan di sini, bukan di Sampang. Itu awannya kan di barat mau ke sini. Dan di timur langitnya cerah." kemudian ayahku tersenyum dan berkata, "Ya sudah kalo begitu, boleh ke Sampang. Tapi hati-hati." Dan adikku pun langsung berteriak, "Yeeee kita jadi berenang..." 


Aku melihat senyum ayah saat memberi kami ijin. Seketika pun aku teringat saat kecil dulu, saat kejadian yang aku sebutkan di atas. Dalam benak aku berpikir, ekspresi wajah ayah menandakan ia bangga dan bahagia. Apa yang telah diajarkannya dulu, telah aku tangkap dan aku wariskan pada adikku. Lebih dari itu, pencapaian yang aku lewati sampai saat itu juga buah dari semangat dan pelajaran yang pernah ia tanamkan dulu, dan bahkan hingga diriku yang sekarang.


Kami pun melanjutkan perjalanan ke Kota Sampang, berenang. Dan benar dugaanku, tidak ada hujan di sana, cuaca cerah. Mendengar pembuktianku, adikku hanya tersenyum bodoh sambil mengangguk, memberi ekspresi terkesan. Aku yakin, ia juga menangkap apa yang waktu kecil dulu pernah aku tangkap langsung dari ayah.


Tentang hujan, aku selalu menyukainya. Ada suara, ada wujud, ada aroma, ada rasa, dan ada suhu. Ia membangkitkan panca indera ketika sedang turun. Aku bisa mendengarnya, aku bisa melihatnya, aku bisa menciumnya, aku bisa menikmati segarnya, dan aku bisa merasakan sejuknya. Ia membuat semuanya menjadi peka.

Ia pun dapat merekam memori, yang hanya bisa dibuka ketika musimnya telah kembali. Begitu khas, hingga tiap kejadian berbeda dapat terekam dengan baik. Masih ku ingat tentang memori masa kecilku jika hujan datang, saat aku berada di rumah. Masih bisa ku rasakan memori masa SMAku jika hujan datang, saat aku berada di sekolah.


Aku suka hujan. Ia menyimpan sejuta memori, yang bisa dibuka dimana saja ketika ia ada.

Aku suka hujan. Ia membangkitkan semua indera, membuatnya merekam memori secara khusus lalu dipadu dalam satu irama hujan.

Tentang hujan, aku menyukainya.

The Meaning of Wedding

Ini cerita tentang pernikahan, tapi pernikahan orang lain, bukan pernikahan sendiri.

Malam ini aku pulang, 19 Juni 2014. Bukan untuk menyambut bulan puasa, sekalipun sudah H-10. Apalagi untuk Pilpres, karena masih bulan depan. Temanku akan menikah, Ayu namanya. Dia teman SMA; keluarga keduaku di dunia. Ya, karena kami bertiga puluh dua tak terpisah selama 3 tahun.

Besok, jum'at 20 Juni 2014 ia akan melangsungkan pernikahan. Ini pernikahan kedua dari teman-teman Genetika (nama kelas dan angkatan SMAku). Sebelumnya Asrul yang memecahkan telur, ia yang pertama menikah di antara kami. Namun sayang aku tak bisa hadir. Bukan karena aku terlalu sibuk dengan kegiatanku di Jogja, melainkan karena ada hal lain yang harus aku utamakan.

Di waktu yang sama dengan pernikahan Asrul, orang tuaku berangkat haji. Tak mungkin aku memilih pergi ke Sumenep dan menghadirinya. Sementara semua keluarga besar, termasuk yang di Sumenep pergi ke Sampang untuk mengantar orang tuaku berangkat haji. Terpaksalah aku tak hadir, meskipun saat itu aku di Madura. Itu kepulangan tersingkat sepertinya. Tak Sampai 24 jam di rumah.

Kembali ke pernikahan Ayu. Ia dan mereka (Genetika yang lain) telah aku anggap keluarga kedua. Susah senang yang pernah kita semua lewati, masih belum terganti hingga kini. Wajar kalau aku niatkan untuk pulang. Meskipun sempat ibuku tanya, kenapa pulangnya singkat (dua hari saja), dan langsung akan kembali lagi ke Jogja. Aku jawab saja terus terang, aku mau hadir ke undangan pernikahan teman SMA-ku. Selain itu ya memang ingin pulang, tapi tak lama.

Entah, melihat teman bahagia. Rasanya akan ikut berbahagia pula diri ini. Aku memang belum tahu rasanya. Tapi pernikahan adalah salah satu perpindahan fase hidup seseorang. Dari seorang anak dalam satu keluarga, menjadi seorang anak dalam dua keluarga. Dari yang menanggung tanggung jawab hidup sendiri, menjadi menanggung hidup berdua. Ah sudahlah, aku belum saatnya tahu itu lebih banyak. Haha.. Nanti waktunya kan tiba, pasti! Tinggal kita berusaha untuk mempermudah semuanya.

Aku ingin ada di hari kebahagiaan temanku. Agar nanti di hariku bahagia, mereka juga ada. Itu saja alasannya. Sederhana. Walau kali ini tak semuanya (32 orang) bisa datang, tak apa. Perwakilan menandakan kepedulian itu masih ada.

Semoga kamu bahagia, Ayu. Maaf untukmu, Asrul. Maaf juga untuk kalian berdua, piala bergilir yang direncakan sejak SMA dulu belum sempat terealisasi. Mungkin nanti untuk urutan ketiga dari kita yang akan mendapatkannya kali pertama. Tapi tetap dengan persetujuan kalian. Haha

I love you all, Genetika.

Think Ahead

Sunday, May 18th 2014, at Bungong Jeumpa Resto

Mungkin karena lagi introvert, aku sering melewatkan waktu sendiri. Bukan karena ga ada teman. Tapi karena merasa begini lebih tenang. 

Siang tadi, sengaja ku rencanakan makan siang masakan Aceh yang kaya bumbu, Bungong Jeumpa nama Restonya. Ada empat cabang di Jogja. Tempatnya bersih dan menarik. Cocok untuk melepas penat, meskipun aku ga lagi penat.

Aku pilih menu es timun dan nasi ayam panggang kuah kari plus sambel. Entah kenapa, setiap rindu rumah, pastinya aku akan rindu masakannya, dan aku selalu pergi ke tempat makan yang menunya berasa. Salah satunya ini, karena penuh rempah.

Tak lama pesanan datang. Sambil menyantap, aku teringat keinginan waktu dulu, saat masih SMA, untuk membuat satu tempat makan. Yang aku sempurnakan ide itu di awal kuliah. Madura in Jogja Resto, mungkin itu nama restonya nanti. Karena ingin ku buat di Jogja.

Aku memang suka makan, maksudnya suka merasakan makanan yang beraneka. Kalo adikku di rumah, dia memang suka makan. Kadang sehari bisa lima kali. Makanya gendut. Haha. Dan wanita yang ada di rumahku semua punya keahlian memasak. Ibu dan dua kakak perempuanku semua masakannya enak-enak. 

Nah, dulu aku pernah punya rencana membuat satu rumah makan di sekitar pintu TOL Suramadu bagian Madura dengan menu seafood khas Madura. Tujuannya adalah untuk mempromosikan kuliner khas Madura. Pemilihan lokasi di sana adalah agar bisa meningkatkan devisa lokal, menambah obyek wisata di Madura, dan membuka kesempatan lebih lebar bagi masyarakat Madura untuk mencari perkerjaan, di semua bagian, mulai dari tukang parkir, waiter/waitress, chef, manager, bahkan mungkin nanti pemegang saham jika usaha terus berkembang, dan tentunya profit sebagai tujuan dari sebuah bisnis.

Sambil menikmati es timun, imajiiku berjalan. Kenapa tidak aku seriuskan saja rencana itu. Toh juga komponen-komponen penyusunnya sudah ada, tinggal dirangkai dan diuji coba, dan tentunya menentukan waktu yang tepat dari keadaan yang ada.

Bukankah delapan dari sepuluh pintu rezeki itu ada di perniagaan? Dan kuliner (masakan/pangan) adalah satu dari tiga kebutuhan dasar manusia? Dua pernyataan itu cukup sudah bisa menjadi pijakan dalam memulai usaha. Tambah disempurnakan dengan konsep interior yang menarik, manajemen yang bagus, lengkap sudah. Toh koneksi juga sudah ada, modal insyaAllah ada dan bisa ditambah. Tinggal jalan aja.

Dan tentang MiJ (Madura in Jogja) Resto, dulu aku sudah merancang konsepnya. Bisa dibilang matang. Tinggal diperinci ke teknisnya. Namun ternyata, ada yang sudah mengawali setahun setelah ide itu aku rancang. Dia adalah kakak kelasku semasa SMP, sekalipun selisih sepuluh tahun. Itu semua kebetulan menurutku. Meskipun pastinya adalah takdir. Dia membuat sebuah resto bernama Mr. Teto, singkatan dari Madura Sate dan Soto. Ia hadir dengan pelayanan tambahan yaitu delivery dan manajemen yang modern, lengkap dengan adanya CSR, meskipun masih tergolong kecil. Namun prospek usahanya sudah terlihat bagus. Itu karena beliau menggunakan branding dalam usahanya. Sebuah strategi baru dalam bisnis kuliner sate. Dan itu adalah yang pertama yang aku tahu. Baru di tahun kedua, beliau sudah membuat cabang.

Tapi aku tak berkecil hati. Mr. Teto memang sama dengan ide yang pernah aku dapat. Tapi konsep yang aku buat lebih dari sekedar Mr. Teto saat ini. Menunya lebih bervariasi dan konsep restonya juga lebih kompleks. Sementara ide ini memang masih aku simpan. Aku tak tahu, apakah dalam perjalanannya Mr. Teto akan semakin mirip dengan MiJ atau masih ada beda.

Yang jelas, ku pastikan itu tak akan menjadi masalah di kemudian hari. Bisa jadi, jika MiJ telah lahir, Mr. Teto dan MiJ akan merged, bisa jadi keduanya akan berdampingan serasi. Yang pasti tujuan keduanya sama. Seperti yang ku sebut di atas.

Dan tiba-tiba, ayam panggang bumbu kari plus sambel telah habis aku santap. Begitu juga dengan es timunnya. Aku bergegas ke kasir, kemudian pergi ke perpus kota.

Sekian dulu, sebuah curahan pikiran.

Revitalisasi Blog

Alhamdulillah, setelah sekian lama ingin mengganti tampilan blog, mungkin sudah lebih dari 6 bulan, akhirnya malam ini tersampaikan. Tersendat-sendat oleh pilihan template yang bermacam-macam sempat membuat bingung hingga akhirnya niat untuk mengubah tampilan blog tertunda dan semakin tertunda. Alhasil, inilah perbandingan dua tampilan blog milikku.



Tampilan Blog Lama


Tampilan Blog Baru


Perubahan blog ini memiliki arti. Seperti halnya keadaan diri, saat ini aku ingin melakukan perubahan. Perubahan apa? Perubahan dari kemewahan menjadi kesederhanaan. Ya, aku ingin meninggalkan kemewahan-kemewahan yang aku rasa berlebihan selama ini. 



Aku menginginkan kehidupan yang lebih sederhana. Kadang mewah bukan malah membawa kebahagiaan, namun justru memberi beban pikiran. Dan kesederhanaan, ketika banyak orang berpikir itu keadaan serba kekurangan, justru sebagian orang berpikir itu keadaan optimal. Keadaan dimana hal yang kita lakukan adalah yang kita butuhkan, tidak lebih. Adalah juga keadaan dimana apa yang kita butuhkan bisa kita dapatkan, tidak lebih.



Ibarat membawa ransel ketika camping, ransel yang ukurannya pas lah yang ku pilih. Pas menurut barang-barang yang akan aku bawa. Barang yang benar-benar aku butuhkan. Jadi semua yang aku bawa benar-benar bermanfaat selama perjalanan.




Seperti blog ini, hal itulah yang aku inginkan saat ini. Sebab aku rasa, selama ini seperti berlebihan aku menikmati dunia. Sehingga membuat diri ini kurang bersyukur. Mungkin dengan aku kurangi sedikit kemewahan itu, sampai pada level cukup, hidup akan terasa lebih indah, karena beban menjadi lebih ringan. 



Karena cukup adalah takaran terbaik, seperti pribadi Rasulullah.

Do’a Ali Bin Abi Thalib saat Jatuh Cinta Pada Fatimah

Yaa Allah..
Kau tahu..

Hati ini terikat suka akan indahnya seorang insan ciptaanMu.

Tapi aku takut, cinta yang belum waktunya menjadi penghalang ku mencium surgaMu.
Berikan aku kekuatan menjaga cinta ini, sampai tiba waktunya, andaikan Engkau pun mempertemukan aku dengannya kelak.

Berikan aku kekuatan melupakannya sejenak.

Bukan karena aku tak mencintainya.
Justru karena aku sangat mencintainya.
(Repost dari Catatan Pribadi Dzikry Asykarullah)

------------------- 
Inilah cinta, ia menentramkan, bukan menggelisahkan.
Iya mendekatkan diri pada Tuhan, bukan menjauhkan.
Siapapun ingin memiliki cinta seperti ini.
Akupun begitu.

Sebuah Sudut Pandang

Konsep Interdisipliner dan Interorganisasi sebagai
Karakter Negarawan Muda Indonesia
Fajrun Wahidil Muharram
Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada

Negarawan, sebuah kata yang menuntut suatu kontribusi bagi yang membacanya. Negarawan ialah mereka yang telah selesai dengan diri sendiri, sehingga dapat mencurahkan kemampuan, waktu, dan tenaganya untuk kepentingan orang banyak.
B. J. Habibie memiliki istilah sendiri dalam menyebut sosok negarawan, yaitu sebagai cendekia. Dalam bukunya, Habibie & Ainun, ia menulis bahwa ada perbedaan antara cendekia dan pakar. Cendekia merupakan seseorang yang ahli dan menguasai suatu bidang, dan ia memiliki tanggung jawab sosial untuk memanfaatkan keahliannya dalam menyelesaikan permasalahan yang ada di sekitar. Sedangkan pakar menurutnya hanya sekedar seseorang yang ahli dan menguasai suatu bidang tapi tidak memberikan kontribusi berarti bagi lingkungan sekitarnya.
Menjadi negarawan dalam konteks kenegaraan adalah bentuk pengabdian diri pada masyarakat. Tidak harus sebagai presiden, menjadi negarawan dapat dilakukan pada berbagai posisi, baik secara nasional maupun lokal, juga dalam berbagai bidang sesuai keahlian yang dimiliki.
Bagi para pemuda, termasuk mahasiswa, menjadi negarawan dalam konteks kenegaraan seperti di atas adalah hal pasti yang akan dilaluinya di masa mendatang. Namun sebelum itu, ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk melatih dan mencetak diri menjadi negarawan muda sesuai keahlian dan bidang masing-masing.

Konsep Interdisipliner
Dinar Ramadhani, dalam buku Belajar Merawat Indonesia: Presiden Negarawan, menyatakan bahwa menjadi seorang negarawan berarti berpikir mengenai kepentingan publik, mengenai negaranya secara utuh. Lebih jauh lagi, negarawan berpikir secara komprehensif mengenai hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Dia tidak lagi berpikir terkotak-kotak sesuai keahliannya saja, tetapi memandang sesuatu secara utuh dalam lingkup negara.
Dari pernyataan di atas, terdapat dua kata kunci yang menjadi karakter berpikir seorang negarawan, yaitu komprehensif dan tidak terkotak-kotak. Dalam dunia kampus, seorang negarawan muda pasti terikat dengan bidang ilmunya. Sistem perkuliahan cenderung mendorong ia untuk memahami bidangnya secara mendalam dan memberi porsi lebih sedikit atau bahkan mengesampingkan bidang lain. Tentu hal ini berkebalikan dengan pernyataan yang disebut Dinar di atas. Lalu bagaimanakah seorang negarawan muda dapat berpikir komprehensif dan tidak terkotak-kotak? Hal tersebut dapat disiati dengan membentuk jaringan interdisipliner (sebagian menyebut multidisipliner) yang mewadahi negarawan muda dari berbagai latar belakang bidang dalam suatu organisasi.
Konsep interdisipliner ini bukan berarti menghilangkan latar belakang bidang keahlian ketika berkumpul dengan orang lain, melainkan menggunakan keahlian tersebut untuk menelaah suatu problematika kemudian menawarkan solusi dari sudut pandang tersebut. Sehingga tercipta proses transfer of knowledge di antara para negarawan muda dan menghasilkan jejaring yang menyelaraskan berbagai sudut pandang tersebut menjadi satu pemikiran komprehensif dan solutif.

Konteks Organisasi
Dimanapun, khususnya di dunia kampus, organisasi dibuat untuk tujuan tertentu, sehingga memiliki visi, misi, dan ruang gerak khusus. Sebut saja BEM, LEM, atau DEMA, yang gerakannya sarat dengan advokasi dan pengawalan aspirasi yang bersifat persuasif. Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) didirikan untuk menampung mahasiswa dengan kegemaran dan passion yang sama agar dapat memberi arti yang lebih bermanfaat. Terdapat pula unit penalaran ilmiah mahasiswa dengan berbagai varian istilahnya yang lebih cenderung pada kajian mengenai suatu problematika lingkungan dan sosial dengan pendekatan ilmiah, menghasilkan solusi yang bersifat deskriptif eksplanatoris. Ketiga golongan organisasi tersebut dapat dihimpun menjadi satu.
Dalam konteks organisasi, cara ini dapat pula dianggap konsep inter-organisasi, yaitu interdisipliner dalam skala kelompok, bukan lagi individu. Sementara ini, beberapa perguruan tinggi telah mencoba menerapkan cara serupa yang disebut sebagai forum komunikasi (FORKOM). Namun pergerakannya masih sekedar memperbincangkan penyelarasan jadwal pergantian kepengurusan, agenda pelantikan bersama, dan permohonan anggaran bersama pada pihak rektorat. Ini belumlah kondisi yang diharapkan ada pada konsep inter-organisasi.
Idealnya, konsep tersebut dapat digunakan untuk memberikan solusi atas problematika sekitar dengan sistem kerja sama. Unit penalaran ilmiah mengkaji suatu permasalahan secara ilmiah berdasarkan ilmu pengetahuan yang bidang-bidangnya ditekuni oleh anggota di dalamnya sehingga menghasilkan alternatif-alternatif solusi yang mungkin untuk dijalani. BEM, LEM, atau DEMA menjaring aspirasi masyarakat dan mengawal isu tersebut agar tidak mudah dipelintir oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Dan UKM dengan keberagaman unsur di dalamnya menawarkan cara-cara kreatif dalam menerapkan solusi yang dipilih.

Tataran Aksi
Seorang negarawan muda tidak hanya menguasai konsep secara matang, namun juga harus piawai dalam aksi. Dengan karakter yang dimiliki, ia mampu memberi inspirasi. Mampu mengajak anggotanya dan masyarakat untuk turun tangan memberi solusi, sehingga mereka tidak hanya duduk manis sambil memuji atau mengkritik.
Pemimpin ideal adalah ia yang tidak jauh di depan meninggalkan anggotanya, tidak pula jauh di belakang ditinggal anggotanya, melainkan berada di tengah-tengah anggotanya. Karakter itulah yang diharapkan ada dalam diri setiap negarawan muda. Dengan keahlian dan keterampilan yang dimiliki, ia tidak menampilkan sosok dirinya sebagai single actor di depan yang berbeda secara mencolok, tidak pula ditinggalkan anggotanya karena pemikirannya yang terlalu subjektif, tetapi menciptakan sistem kerja sehat, efektif, dan efisien yang menarik simpati para anggotanya untuk ikut bergerak. Sehingga sistem tersebut akan terus bergerak (sustainable) sekalipun telah ditinggalkannya.
Seorang negarawan muda seyogianya memiliki konsep pemikiran dan gaya aksi seperti ini. Kutipan kata bijak dari Abdullah Gymnastiar, “Mulailah dari diri sendiri, mulai dari hal kecil, dan mulai dari sekarang.”, dapat menjadi langkah awal dalam memperbaiki dan merawat Indonesia menjadi lebih baik. []

Multitarget

Bismillah. Ini adalah tulisan dari seorang intelektual bernama Fahmi Amhar. Saya mengutipnya langsung dan sepenuhnya dari tulisan beliau di profil facebooknya. Semoga tulisan itu tak hilang dan bisa dibuka setiap waktu, maka saya simpan juga di blog ini.

BELAJAR MERAIH MULTI TARGET
Kadang ada pertanyaan yang diluncurkan kepada beberapa aktivis dakwah yang menurut mayoritas orang “sukses” dalam meraih multi-target. Maksud multi-target itu: dakwahnya sukses, sekolahnya sukses, keluarga sukses, dan karier atau bisnisnya juga sukses. Karena manusia itu memang mahluk multi-target. Memang ada nasehat, bahwa agar menjadi manusia yang istimewa, itu harus fokus, karena otak tidak bisa berpikir dua hal pada saat yang bersamaan. Itu benar. Tetapi, kita semua diberi waktu 24 jam sehari kan ? Dan toh tidak harus 24 jam itu hanya memikirkan satu hal saja, selamanya. Yang namanya ibadah saja, sholat misalnya, hanya diminta paling 5 x @ 10 menit. Di luar sholat ya mikir yang lain. Bahkan, di Qur’an Surat Al-Jumu’ah, itu malah diperintahkan agar habis sholat Jum’at, itu supaya “bertebaran mencari rizki Allah” – bukan malah duduk-duduk atau ngobrol di masjid.

Tapi sebelum lebih jauh, kata “sukses” sendiri mesti jelas ukurannya. Kalau ukuran dasar, bahwa itu sesuai dengan perintah Allah, ooo tentu saja. Tetapi kita biasa menilai kesuksesan dari output dibanding input. Dakwah disebut sukses kalau bisa merubah pikiran – dan lalu perilaku – orang yang mendengarkan, sehingga makin islami. Dan makin banyak orang yang bisa berubah, berarti makin sukses. Sekolah disebut sukses, kalau berhasil meraih level tertinggi dengan nilai baik, dan setelahnya mampu mengamalkan ilmunya itu, atau dijadikan rujukan dalam bidang keahliannya itu. Keluarga disebut sukses, kalau berhasil membangun rumah tangga yang harmonis, jauh dari konflik, sinergi dalam aktivitas, juga menghasilkan anak-anak yang shaleh/shalihah, sehat, cerdas dan juga sejak dini terikat dengan berbagai aktivitas positif. Sedang karier atau bisnis disebut sukses, kalau makin berkembang, makin memberi manfaat banyak orang, makin banyak menghasilkan zakat-infaq-shadaqah, dan bisa menjadi washilah membuka jejaring yang makin mendukung tercapainya visi.

Persoalannya, banyak aktivis dakwah yang ternyata kelabakan di jalan. Mereka yang merasa aktif dalam dakwah, ternyata ada yang sekolahnya jadi berantakan. Atau sekolah dan dakwah semula jalan, tetapi begitu masuk dunia kerja, langsung suaranya berangsung-angsur senyap … bahkan lama-lama hilang. Ada juga yang senyapnya ini setelah berkeluarga. Sebaliknya ada terus rajin sibuk dalam dakwah dan bisnis, tetapi keluarga kurang mendapatkan haknya, yang bahkan berujung pada sesuatu yang halal tetapi sangat dibenci Allah, sesuatu yang menggetarkan Arasy, yakni perceraian !!!

Karena setiap dari kita mendapatkan “anggaran” yang sama dari Allah, yaitu sehari 24 jam, maka tentu kita perlu belajar “best-practice” dari mereka yang terlebih dulu dapat kita identifikasi sebagai sukses meraih multi-target tersebut. Mungkin memang kelebihan tiap orang tidak sama, tetapi jelas mereka yang saya jadikan teladan, itu dapat disebut sukses, jauh di atas aktivis dakwah kebanyakan.

Ada yang saya lihat, pada saat itu usia beliau belum 40 tahun – pada saat dakwahnya sangat kencang – beliau sudah menjadi icon dakwah nasional, ternyata juga masih sempat menyelesaikan S2-nya, juga mendirikan sebuah sekolah dan perguruan tinggi Islam, juga menulis banyak sekali buku, juga sukses membangun lembaga konsultan bisnis & manajemen yang sudah bisa jalan sendiri, rumah tangganya juga tampak harmonis, masih sempat mengajak anak-anaknya liburan dsb.

Ada lagi – yang juga di usia muda – ini bahkan kelasnya sudah internasional. Eloknya, saat itu, meski sudah terkenal, tapi masih sempat meneruskan S3-nya di Luar Negeri, sambil terus memelihara berbagai cabang bisnisnya, dan terus mengembangkan sekolah yang dibangunnya, menulis beberapa textbook standar dan suatu ensiklopedi, menginspirasi banyak orang – seraya keluarganya sangat harmonis, padahal anaknya sedikitnya 7 orang.

Setelah saya pelajari, pribadi-pribadi ini ternyata memiliki ciri-ciri yang mirip:
1. Mereka relatif dini mengenali tujuan hidupnya. Ada yang sejak SD memang sudah “dekat dengan masjid”. Tetapi ada juga yang baru setelah SMA atau mahasiswa. Bahkan ada yang baru muallaf setelah sarjana. Tetapi sebelumnya, mereka sudah tergolong orang-orang yang “hanif” (=cinta kebenaran). Benar kata Nabi, “barangsiapa hebat di masa Jahiliyah, dia juga akan hebat dengan Islam”. Artinya, Nabi tidak menafikan bahwa di antara orang-orang yang belum berjuang dengan Islam-pun, bahkan belum muslim, ada yang memiliki kehebatan universal – seperti sikap cinta kebenaran (jujur), cenderung pada keadilan, rajin mencari ilmu, menjaga komitmen dalam bekerja, dan sebagainya. Nah, orang-orang seperti ini, di lingkungan manapun selalu akan dihargai, dan selalu tampak hebat.

2. Mereka relatif dini mempelajari segala ilmu yang mendukung meraih visinya. Ada yang sejak dini gemar membaca. Ada yang sejak SMA sudah rajin belajar menulis buku. Ada yang sejak mahasiswa sudah merintis bisnis. Benar kata pepatah: belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu, belajar di waktu dewasa bagai mengukir di atas air. Mereka juga sejak awal suka belajar sesuatu yang dapat meningkatkan kinerja hidupnya, sehingga dalam waktu yang sama, mereka dapat menyelesaikan lebih banyak pekerjaan daripada orang lain. Mereka belajar Cara Bekerja Efisien, Cara Memotivasi Orang Lain, Cara Mengotomatisasi Pekerjaan, dan sebagainya. Mereka juga akrab dengan biografi berbagai tokoh dunia. Karena itu mereka makin terinspirasi dan makin dapat membuat sebuah “road map” atau peta perjalanan hidupnya, dia mau meraih apa saja pada usia berapa, bersama siapa, dan dimana.

3. Dengan ilmu itu mereka dapat merinci visinya dalam tahapan-tahapan kecil yang lebih terukur, kemudian mereka istiqomah memenuhi tahapan-tahapan kecil itu. Ketidakmampuan merinci visi dalam tahapan kecil membuat seakan-akan semua target visi sebuah pekerjaan raksasa. Bagaimana bisa meraih gelar Doktor dalam usia kurang dari 30 tahun? Ya memang seperti tidak terjangkau dalam segala aspek: biaya – persiapan bahasa – topik dll. Tetapi kalau dirinci, kapan kita persiapan bahasa, kapan kita akan test TOEFL, kapan cadangan waktu mengulang kalau tidak sekali lulus, kapan kita akan mulai mengontak calon profesor dan mencari bahan untuk membuat proposal, dan sebagainya, maka semuanya pasti terasa terjangkau. Tapi sekali lagi, kemampuan merinci visi ini memerlukan ilmu yang lebih baik mulai dipelajari sedini mungkin.

4. Mereka percaya bahwa meramal masa depan itu mustahil, tetapi ikut merekayasa masa depan sangat mungkin. Karena itu cara terbaik mengetahui akan seperti apa masa depan kita, adalah aktif terlibat dalam upaya membentuk masa depan yang sesuai visi kita. Dari sini kita melihat bahwa aktivitas dakwah, sekolah, keluarga maupun karier/bisnis harus bermuara di titik yang sama – yaitu masa depan kita yang lebih baik, lebih bermartabat, lebih diridhoi Allah. Kalau untuk membangun sebuah gedung saja kita harus menguasai beberapa jenis ilmu, seperti ilmu bangunan yang didasari matematika atau fisika, juga ilmu manajemen proyek, maka berapa banyak ilmu yang harus kita kuasai untuk membangun sebuah negara ? Ini justru harusnya makin mendorong kita untuk lebih tekun dan lebih serius dalam belajar dan bekerja.

5. Mereka serius memikirkan prioritas amal (fiqih awlawiyat). Ketika amal dirinci pada bagian-bagian kecil, maka akan terlihat lebih jelas, mana amal wajib yang harus didahulukan, dan mana – amalan wajib pula – yang lebih longgar waktunya. Tidak berarti kalau dakwah menjadi aktivitas utama (poros hidup) lantas kewajiban pada keluarga harus selalu diterakhirkan ! Kita jangan berhenti pada yang makro atau besar-besar saja, tetapi memang harus rinci. Mengkaji kitab dalam halaqah adalah kewajiban, menjaga orang tua yang sakit juga kewajiban, ini tidak harus dibenturkan. Masih bisa disiasati, misalnya menjaga orang tua bergantian dengan saudara, atau kalau kondisinya memungkinkan: halaqahnya dilakukan di tempat di mana orang tua dirawat.

6. Sedapat mungkin satu aktivitas bisa disinergikan dengan aktivitas yang lain. Kalau kita ada tugas keluar kota, apa salahnya untuk sekaligus melakukan kontak pada orang yang seperjalanan di dalam bus atau pesawat. Atau jauh sebelum berangkat, kita memberitahu aktivis dakwah di tempat tujuan, bahwa keberadaan kita di sana siap dimanfaatkan untuk dakwah. Demikian juga, kalau kita ada agenda yang tidak jauh dari suatu tempat wisata, sementara anak-anak sedang liburan, bagaimana kita ke tempat yang diagendakan itu sambil membawa anak-anak dan didrop di tempat wisata itu bersama orang yang kita percaya, dan kita akan menyusulnya bila agenda kita selesai. Hal-hal semacam ini memang memerlukan “jam terbang”, sehingga lama-lama jadi habbit.

7. Segala 'infrastruktur' harus diupayakan mendukung target-target itu. Ini mulai dari memilih jenis dan lokasi pekerjaan, memilih lokasi tempat tinggal, memilih teknologi yang akan dipakai di rumah dan tempat aktivitas, bahkan memilih orang yang akan dijadikan pasangan hidupnya. Saya melihat ada aktivis dakwah yang ternyata setiap hari hilang waktu 2 x 2 jam untuk perjalanan pergi pulang ke tempat kerjanya. Dan selama itu dia praktis tidak dapat melakukan hal lain karena harus konsentrasi penuh mengendarai motor. Andaikata dia naik bus, barangkali bisa sambil membaca, menghafal Qur’an dengan mp3, atau sekalian kontak dakwah ke sesama penumpang. Atau barangkali jika dia bisa pindah rumah mendekati tempat kerjanya, mungkin yang 4 jam itu bisa produktif untuk yang lain.

8. Terus mengevaluasi diri dan mengoptimasi diri, sehingga beberapa kesalahan tidak terulang lagi, sedang beberapa pekerjaan yang berulang dan sudah diketahui sistem atau prosedurnya dengan jelas, dapat diotomatisasi atau didelegasikan pada orang yang telah kita kader. Dengan ini makin banyak lagi hal yang dapat kita raih, dan pada saat yang sama, makin banyak orang yang dapat merasakan manfaat kehadiran kita dalam hidupnya.

9. Tidak ada hentinya menyandarkan hasil kepada Allah. Karena meski kita telah mempersiapkan diri sedemikian rupa, Allah-lah yang memberi kesehatan dan kesempatan pada kita. Kalau Allah kehendaki, dapat saja Dia membuat kita sakit atau terkena musibah, sehingga segala rencana kita berantakan semua.

Selamat sukses menjadi mahluk multitarget.

Semangat memperbaiki diri. Semangat menjadi pribadi menginspirasi.

Catatan Singkat

KKN sebagai Wujud Nyata
Peran dan Tanggung Jawab Sosial Mahasiswa
Fajrun Wahidil Muharram
Fakultas Georafi Universitas Gadjah Mada

 Mahasiswa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan orang yang belajar di perguruan tinggi. Pengertian mahasiwa tidak hanya tergolong pada jenjang diploma dan S1, namun juga S2 dan S3. Dengan kata lain, mahasiswa merupakan kaum akademis dengan strata tertinggi yang berbeda dengan golongan di bawahnya yaitu siswa SD, SMP, dan SMA.

Pada dasarnya, hak yang dimiliki oleh mahasiswa adalah belajar. Namun lebih dari itu, adanya Tri Dharma sebagai ruh dari setiap perguruan tinggi yang berupa pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat menjadi hak sekaligus kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap mahasiswa. Hal tersebut menjadikan iklim di perguruan tinggi terasa berbeda. Dunia kemahasiswaan bersifat lebih kompleks dari dunia sekolah dengan jam belajar yang terkesan tidak menentu, kegiatan meneliti yang seakan berkepanjangan dan menyita waktu, serta kegiatan ekstrakulikuler kampus yang membabi buta.


Dengan kondisi demikian, bukan berarti mahasiwa harus mengabaikan dan tidak peka terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat. Adanya permasalahan lingkungan baik alam maupun sosial justru menjadi kesempatan bagi mahasiswa untuk menunjukkan apa yang selama ini telah dipelajari.

Mahasiswa yang didominasi oleh para pemuda merupakan agent of change (penggerak perubahan). Pemuda identik dengan semangat yang kuat dan tidak mudah menyerah dalam berbagai situasi. Pemuda merupakan pemberi aksi nyata dari setiap ide yang tertuang. Itulah yang membedakan pemuda dengan orang tua. Ada pepatah mengatakan, “Belajarlah keberanian dari pemuda, dan belajarlah kebijaksanaan dari orang tua.” Sehingga apabila dikaitkan dengan statusnya sebagai mahasiswa, pemuda merupakan sosok yang dapat mengantarkan ilmu dan pengetahuan menjadi suatu aksi yang dapat diaplikasikan di masyarakat, tidak sebatas teori yang tersimpan dalam buku.

Pengabdian kepada masyarakat merupakan peran dan tanggung jawab sosial yang dimiliki mahasiswa. Mau atau tidak, mereka tetap harus melakukannya. Bentuk nyata dari pengabdian kepada masyarakat dalam perguruan tinggi bermacam-macam bentuknya maupun pelaksananya. Di tataran rektorat dan kelembangaan kampus, pengabdian masyarakat dapat berupa penyuluhan kepada masyarakat maupun daerah atau pendampingan program-program sosial masyarakat secara kelembagaan. Di kalangan organisasi mahasiswa, pengabdian kepada masyarakat dilakukan dalam bentuk desa binaan dan secamamnya, dimana mahasiswa terlibat dan berinteraksi langsung dengan masyarakat, dengan acara yang dilakukan secara terjadwal.

Bentuk lain dari pengabdian kepada masyarakat adalah Kuliah Kerja Nyata (KKN). Secara konseptual dan pragmatis, KKN memiliki muatan atau nilai yang lebih tinggi daripada bentuk pengabdian lainnya. Di dalam KKN, tercakup tiga unsur Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan yang dilakukan selama kuliah menjadi bekal bagi mahasiswa dalam mengaplikasikan ilmunya di masyarakat, penelitian menjadi instrumen bagi mahasiswa untuk memberikan solusi atas permasalahan yang kerap terjadi di masyarakat, serta pengabdian merupakan bentuk dari pelaksanaan kegiatan tersebut. Ketiga unsur Tri Dharma tersebut menjadi serasi dan memiliki prosi seimbang satu dengan yang lain. Secara kelembagaan, kampus (perguruan tinggi) menjadi payung dari pelaksanaan kegiatan tersebut sedangkan mahasiswa menjadi pelaksana. Kampus memberikan fasilitas baik formal maupun material (pendanaan) sedangkan mahasiswa memberikan curahan tenaga dan pikiran.

Menurut sejarahnya, KKN dimulai pada masa Agresi Militer Belanda dimana sekolah-sekolah mulai kehilangan guru. Sehingga, kebijakan perguruan tinggi dalam hal ini UGM sebagai pelopor KKN mewajibkan mahasiswanya untuk mengabdi dengan turun langsung mengajar sekolah-sekolah tanpa guru tersebut. Seiring waktu, kegiatan KKN dirasa bermanfaat sekalipun Agresi Militer Belanda telah usai. Oleh karena itu, KKN terus dilaksanakan dan program di dalamnya menjadi lebih kompleks tidak hanya sekedar mengajar, melainkan membantu masyarakat mengatasi permasalahan yang selama ini terjadi dan dapat dipecahkan dengan ilmu yang didapat mahasiswa selama kuliah. Kemudian, KKN menjadi program yang menjamur di perguruan tinggi-perguruan tinggi di Indonesia.

Pengalaman pribadi penulis tentang KKN juga cukup berkesan. Pada Juli-Agustus 2013 lalu, penulis melakukan kegiatan KKN di wilayah timur Indonesia, yaitu Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat. Pemilihan lokasi tersebut didasari oleh salah satu tujuan KKN yaitu pemberdayakan masyarakat. Raja Ampat sebagai kabupaten baru hasil pemekaran dengan potensi alam yang tinggi dirasa perlu dilakukan pemberdayaan agar masyarakatnya siap bersaing dengan daerah lain di Indonesia. Lokasi KKN tersebut tepatnya berada di Pulau Jefman, satu dari sekian banyak pulau di Raja Ampat yang paling dekat dari kota Sorong, dengan waktu tempuh perjalanan sekitar satu jam menggunakan perahu (long boat).

Pulau Jefman memiliki bandara aktif yang menghubungkan Kota Sorong dengan daerah lain di Indonesia sebelum terjadi pemekaran Kabupaten Raja Ampat. Pada saat itu, menurut cerita tokoh setempat, masyarakat sekitar hidup berkecukupan. Karena hasil laut mereka dapat dijual langsung di dermaga sekitar bandara maupun dikirim ke Kota Sorong. Namun setelah Kabupaten Raja Ampat terbentuk, Kota Sorong membuat bandara baru di wilayahnya sedangkan Kabupaten Raja Ampat juga membuat bandara baru di lokasi yang lebih dekat dengan ibukota. Sehingga, bandara lama dinonaktifkan dan Pulau Jefman perlahan mulai ditinggalkan. Kondisi ini merupakan fenomena unik yang memiliki potensi masalah dan jika dibiarkan akan menjadi semakin besar.

Sejak pemindahan bandara tersebut, beberapa masyarakat di Pulau Jefman terpaksa harus menjari mata pencaharian baru. Beberapa dari mereka berusaha tetap pada pekerjaan lama dengan konsekuensi tersendiri. Seperti contoh, salah seorang pegawai bandara memilih melanjutkan profesi sebelumnya sehingga setiap hari harus menyeberang untuk bekerja di siang hari dan kembali di malam hari. Sehingga biaya yang harus dikeluarkan semakin besar, terlebih jika cuaca tidak memungkinkan. Masyarakat lain yang awalnya memiliki profesi jasa penyeberangan terpaksa harus menjadi nelayan, padahal keahilan menangkap ikan tidak sepenuhnya mereka kuasai.

Dari kenyataan tersebut, penulis beserta rekan satu timnya mencoba mengindentifikasi segala permasalahan yang ada di pulau tersebut dan juga potensi-potensi yang dapat dimanfaatkan. Kemudian dengan pemahaman ilmu yang didapat selama kuliah dan pertimbangan dari masyarakat sekitar, dibuat beberapa solusi dan dijadikan sebagai program KKN. Program-program tersebut antara lain penyuluhan tentang pelestarian ikan, perikanan tangkap, dan perikanan budidaya, pemanfaatan buah mangrove sebagai makanan, pertanian palawija, pembenahan sistem tata pemerintahan desa, pengeloaan sampah, kerajinan kreatif, dan lain sebagainya. Program seperti penyuluhan tentang pelestarian ikan dilaksanakan dengan mengundang Kepala Dinas Perikanan setempat dan salah satu tokoh lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang konservasi yaitu CI (Conservation International) sebagai pembicara. Hal tersebut dapat dilakukan karena mahasiswa memiliki keterampilan yang sebelumnya sudah dipelajari di kampus.

Penulis merasakan kegiatan KKN yang dilaksanakan selama dua bulan tersebut membawa banyak manfaat baik bagi penulis sendiri maupun bagi masyarakat di Pulau Jefman secara umum. Hal tersebut dibuktikan dengan diterimanya laporan pertanggungjawabaan tim KKN di depan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) setempat yang sempat dihadiri langsung oleh wakil bupati dan dosen pembimbing KKN. Lebih dari itu, pihak pemerintah setempat berharap kegiatan serupa dapat kembali dilakukan dan lebih ditingkatkan lagi untuk tahun-tahun berikutnya. Terbukti, menurut informasi yang penulis terima, jumlah unit KKN pada kesempatan mendatang di Kabupaten Raja Ampat meningkat dari 3 unit pada 2013 menjadi 7 unit pada 2014, mengingat masih banyak bagian dari kabupaten tersebut yang perlu dilakukan kegiatan serupa.

Jika diperhatikan lebih jauh, kegiatan KKN memberi dampak berganda dan berlipat. Bagi mahasiswa, KKN memberikan kesempatan untuk mengetahui dunia luar secara langsung dan menjadi pemicu sebelum mereka benar-benar terjun ke masyarakat. Bagi kampus (perguruan tinggi), KKN merupakan suatu langkah atau program nyata dari visi pengabdian kepada masyarakat yang terkandung dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi. Dan bagi masyarakat, termasuk pemerintah daerah, KKN memberikan kesempatan berharga untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas kerja yang ilmunya didapat secara langsung dari perguruan tinggi dengan harapan kualitas hidup dapat meningkat.

If You Feel Your Heart Vibrate, You Know For Whom You Life

Adzan Terakhir Sahabat Bilal Semua pasti tahu, bahwa pada masa Nabi, setiap masuk waktu sholat, maka yang mengkumandankan adzan adalah Bilal bin Rabah. Bilal ditunjuk karena memiliki suara yang indah. Pria berkulit hitam asal Afrika itu mempunyai suara emas yang khas. Posisinya semasa Nabi tak tergantikan oleh siapapun, kecuali saat perang saja, atau saat keluar kota bersama Nabi. Karena beliau tak pernah berpisah dengan Nabi, kemanapun Nabi pergi. Hingga Nabi menemui Allah ta’ala pada awal 11 Hijrah. 

Semenjak itulah Bilal menyatakan diri tidak akan mengumandangkan adzan lagi. Ketika Khalifah Abu Bakar Ra. memintanya untuk jadi mu’adzin kembali, dengan hati pilu nan sendu bilal berkata: “Biarkan aku jadi muadzin Nabi saja. Nabi telah tiada, maka aku bukan muadzin siapa-siapa lagi.” Abu Bakar terus mendesaknya, dan Bilal pun bertanya: “Dahulu, ketika engkau membebaskanku dari siksaan Umayyah bin Khalaf. Apakah engkau membebaskanmu karena dirimu apa karena Allah?.” Abu Bakar Ra. hanya terdiam. “Jika engkau membebaskanku karena dirimu, maka aku bersedia jadi muadzinmu. Tetapi jika engkau dulu membebaskanku karena Allah, maka biarkan aku dengan keputusanku.” Dan Abu Bakar Ra. pun tak bisa lagi mendesak Bilal Ra. untuk kembali mengumandangkan adzan. 

Kesedihan sebab ditinggal wafat Nabi Saw., terus mengendap di hati Bilal Ra. Dan kesedihan itu yang mendorongnya meninggalkan Madinah, dia ikut pasukan Fath Islamy menuju Syam, dan kemudian tinggal di Homs, Syria. Lama Bilal Ra tak mengunjungi Madinah, sampai pada suatu malam, Nabi Saw hadir dalam mimpi Bilal, dan menegurnya: “Ya Bilal, wa maa hadzal jafa’? Hai Bilal, kenapa engkau tak mengunjungiku? Kenapa sampai begini?.” Bilal pun bangun terperanjat, segera dia mempersiapkan perjalanan ke Madinah, untuk ziarah pada Nabi. Sekian tahun sudah dia meninggalkan Nabi. 

Setiba di Madinah, Bilal bersedu sedan melepas rasa rindunya pada Nabi Saw., pada sang kekasih. Saat itu, dua pemuda yang telah beranjak dewasa, mendekatinya. Keduanya adalah cucunda Nabi Saw., Hasan dan Husein. Sembari mata sembab oleh tangis, Bilal yang kian beranjak tua memeluk kedua cucu Nabi Saw itu. Salah satu dari keduanya berkata kepada Bilal Ra.: “Paman, maukah engkau sekali saja mengumandangkan adzan buat kami? Kami ingin mengenang kakek kami.” Ketika itu, Umar bin Khattab yang telah jadi Khalifah juga sedang melihat pemandangan mengharukan itu, dan beliau juga memohon Bilal untuk mengumandangkan adzan, meski sekali saja. 

Bilal pun memenuhi permintaan itu. Saat waktu shalat tiba, dia naik pada tempat dahulu biasa dia adzan pada masa Nabi Saw masih hidup. Mulailah dia mengumandangkan adzan. Saat lafadz “Allahu Akbar” dikumandangkan olehnya, mendadak seluruh Madinah senyap, segala aktifitas terhenti, semua terkejut, suara yang telah bertahun-tahun hilang, suara yang mengingatkan pada sosok nan agung, suara yang begitu dirindukan, itu telah kembali. Ketika Bilal meneriakkan kata “Asyhadu an laa ilaha illallah”, seluruh isi kota madinah berlarian ke arah suara itu sembari berteriak, bahkan para gadis dalam pingitan mereka pun keluar. Dan saat bilal mengumandangkan “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”, Madinah pecah oleh tangisan dan ratapan yang sangat memilukan. 

Semua menangis, teringat masa-masa indah bersama Nabi, Umar bin Khattab yang paling keras tangisnya. Bahkan Bilal sendiri pun tak sanggup meneruskan adzannya, lidahnya tercekat oleh air mata yang berderai. Hari itu, madinah mengenang masa saat masih ada Nabi Saw. Tak ada pribadi agung yang begitu dicintai seperti Nabi Saw. Dan adzan itu, adzan yang tak bisa dirampungkan itu, adalah adzan pertama sekaligus adzan terakhirnya Bilal Ra, semenjak Nabi Saw wafat. Dia tak pernah bersedia lagi mengumandangkan adzan, sebab kesedihan yang sangat segera mencabik-cabik hatinya mengenang seseorang yang karenanya dirinya derajatnya terangkat begitu tinggi. Semoga kita dapat merasakan nikmatnya Rindu dan Cinta seperti yang Allah karuniakan kepada Sahabat Bilal bin Rabah Ra. Aamiin.

See You on Top!

Rabu, 25 Desember 2013, tepat di hari Natal, aku pulang ke madura. Ini bukan pulang yang biasa, karena kakakku akan melangsungkan pernikahannya di tanggal 27-nya. Namun bukan itu yang ingin aku ceritakan.


Sejak dari Jogja sampai akan kembali ke Jogja. Aku seperti mengalami kilas balik ke diriku di masa lalu, tepatnya ketika masih SMA. Semua seakan terulang dan terbayang di kepala, juga terasa di dada. 



Dan semua itu menjadikanku mengingat kalian, Genetika. Keluarga keduaku, yang sempat menenami dalam satu ruang dan waktu tiga tahun lamanya. Aku juga tak paham mengapa perasaan itu membawaku pada masa lalu. Tapi aku rindu kalian, aku rindu akan diriku yang tidak tahu apa-apa kemudian menjadi pribadi yang lebih dewasa dengan mengenal kalian. Kalian berwarna-warni. Dan warna-warni itulah yang membuatku mudah mengurai pelangi. 


Sudah tiga setengah tahun kita memilih jalan masing-masing. Lebih lama dari kita bersama dulu. Di sini aku memiliki teman dekat. Namun itu belum dapat dibandingkan dengan kedekatan yang pernah kita buat. Mereka, teman dekatku di sini, hanya beberapa. Sedangkan kita, bertiga puluh dua. Lingkaran kita lebih besar, sehingga energi kita juga lebih besar. 


Tak berpengaruh sekarang jarak memisahkan. Lingkaran itu tidak hilang, namun melebar. Aku yakin, di sana, di tempat masing-masing, kita tengah menebar kebaikan pada sekeliling kita, pada lingkungan, juga pada orang-orang di dekat kita.



Sebenarnya aku ingin cerita banyak pada kalian, dalam satu tempat yang sama. Kita kumpul untuk kembali saling mengisi semangat. Karena aku sudah dua kali bolos pertemuan tahunan kita, yang selalu dilakukan setiap ramadhan. Pertama dulu aku sedang jalan-jalan ke negeri orang. Kedua kemarin aku sedang KKN di Indonesia timur. Sering memang liburku atau lebih tepatnya waktu untuk aku pulang tidak sama dengan kebanyakan kalian. Jadi aku tak bisa mengunjungi kalian semua. Hanya tiga orang yang kemarin sempat ku kunjungi.


Foto Bersama (Genetika) dengan Mempelai Asrul dan Reta


Sekarang, satu dari kita sudah menggenapkan separuh agamanya. Dialah Asrul. Dia yang memukul gong pertama. Aku yakin, semua dari kita punya tujuan sama. Punya keluarga impian masing-masing. Nanti kau akan kami ikuti, Srul. Jangan kuatir. Beberapa dari kita juga sudah bisa mandiri secara keuangan dari orang tuanya. Ada yang sudah bekerja tetap. Ada juga dengan penghasilan wirausahanya.



Aku bangga pada kalian. Kalian manusia super. Aku tidak menyesal pernah bersama. Mungkin dulu jika ibu Dimas tidak tegas bertanya padaku apakah ingin ikut tes PSUB atau tidak dan juga mas Acul tidak mendesakku untuk ikut tes itu, cerita akan berbeda. Mungkin sekarang aku tidak akan di Jogja, atau di UGM sini. 



Sekolah kita semacam jadi batu loncatan bagiku, dari suatu sekolah di desa terpencil sampai ke salah satu kampus paling top negeri ini. Dan kalian adalah pendorong loncatanku. Apalah arti batu loncatan jika tidak bisa meloncat, atau meloncat tapi tak sampai. Tapi, Alhamdulillah, Allahu Akbar, aku mendapatkan keduanya.



Aku ingin, suatu saat nanti, kita dapat berkumpul kembali, dengan keluarga impian masing-masing, dengan impian yang sudah teraih masing-masing. Kita melingkar lagi dengan energi yang lebih dahsyat. Tujuanku cuma satu, apa yang kita pernah nikmati dapat dinikmati pula oleh orang-orang setelah kita. 



Mungkin kedengarannya terlihat aneh, kalau sekarang aku ucap "Songsong Senom II". Kalian tahu apa Songsong Senom? Itu yayasan yang dulu menjadi donatur berdirinya kelas unggulan di sekolah kita, dan kemudian sempat mati. Aku ingin itu kembali berdiri dengan kita yang mengawali. Pernah aku ucap itu di kumpul pertama kita pasca lulus SMA dulu. Mungkin ada dari kalian yang ingat namun tak menghiraukannya, mungkin juga kalian tak ingat sama sekali. Tapi dari dulu aku yakin, itu pasti bisa diwujudkan dan menjadi kenyataan. Keyakinan itu ada karena kalian ada, itu saja, sederhana.



Sering aku berkata pada kalian, "See you on Top!". Itu sebagai pengigat dan pemicu semangat agar kita dapat terus keep on track in our struggle. Juga sebagai jargon baru di tengah lingkaran yang terus melebar ini. Sampai lingkaran itu nanti kembali mengecil karena kita perlahan telah mendekati dan mencapai puncak itu.



"So, See You on Top!"