It's Time for Me to Quit from Shell

"Jangan seperti katak dalam tempurung." Kalimat tersebut yang pernah dilontarkan oleh Projo Danoedoro, seorang dosen di kampusku Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Beliau mendapat penilaian tersendiri bagiku. Tidak seperti dosen kebanyakan, beliau seperti pelita dalam keremangan. Sebagai satu dari beberapa orang yang aku kenal yang berpikir dengan cara logis dan analitis serta bersikap lantang untuk membedakan mana yang benar dan salah, begitu juga mana yang baik dan buruk. Namun banyak juga dari beliau yang kadang diucapkan dengan tidak serius. 

"Jangan menjadi orang yang hebat di lingkungannya saja. Tunjukkan pada yang lain, kalau kalian memang bisa." "Baik, Bapak." Semacam ada percakapan batin yang aku tangkap. Selama ini, aku memang lebih sering membabat habis sesuatu yang baru. Namun aku berhenti ketika telah bosan atau mencapai tujuan.

Contohnya, ketika memulai suatu mata kuliah baru, mungkin dengan kemurahan Allah, aku lebih mudah dan cepat untuk mengerti materi yang disampaikan. Bisa jadi karena pernah mendalami sebelumnya, bisa jadi pula karena pola pikirku sejalan dengan dosen yang menjelaskan. Sehingga transfer ilmu berjalan dengan lebih baik.

Namun untuk melanjutkan ilmu itu ke sesuatu yang lebih bermanfaat, terkadang ada rasa malas dalam diriku. "Ngapain ditulis, intinya nanti juga bakal kaya gitu.", gumam dalam hati. Alhasil, apa yang ada dalam pikiranku tak banyak orang yang dapat mengetahuinya. Tak ada essay ataupun tulisan ilmiah lain sebagai bentuk pengejahwantahan pemikiranku yang menurutku ada baiknya jika orang lain tahu dan bisa memanfaatkannya. Namun perlahan aku sadar. Allah memberikan petunjuk. Dalam hati aku berpikir, kewajiban manusia tentang ilmu itu ada dua, pertama mempelajarinya, kedua mengajarkannya. Dan sesuai dengan hadist Rasul, "Khairukum man ta'allama wa'allama | Sebaik-baik darimu adalah yang mempelajari dan mengajarkannya | Best of you is who wanna learn and who wanna teach." Untuk menjadi orang yang lebih bermanfaat, kebaikan apa yang kita miliki harus kita pastikan orang lain memilikinya pula, kebaikan apa yang kita alami harus kita pastikan orang lain mengalaminya pula. Itu saja.

Dan sekarang, pikiranku sedikit terbuka. Sejalan pula dengan cita-citaku untuk menjadi seorang ilmuwan. Menjadi seorang peneliti adalah dunia yang saat SMA sudah kuniatkan untuk kugeluti ketika nanti masuk kuliah. Alhamdulillah, di tahun pertama kuliah, tepatnya di semester dua, keinginan itu berbuah hasil. Aku lolos menjadi peserta Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional di Makassar, Sulawesi Selatan. Sebuah event bergengsi di tingkat mahasiswa S1 di Indonesia. Tak semua bisa menikmatinya. Meskipun saat itu ada backing yang sangat mendominasi dari seniorku. Ia yang membimbingku dari awal hingga aku dinyatakan lolos dan membuat presentasi. Namun yang namanya manusia, ketika berada di atas, selalu saja ada angin yang berhembus semilir menjadikan suasana damai seakan tetap akan seperti itu, namun lupa bahwa gravitasi juga berjalan. Aku sedikit termakan oleh suasana sebagai satu-satunya kelompok dari fakultas yang mewakili ke PIMNAS dan beranggotakan mahasiswa tingkat satu semua, mungkin juga berlaku di universitas, atau mungkin se-Indonesia. Sempat muncul rasa percaya diri yang berlebihan. Hehe.

Hingga berikutnya, untuk mengikuti hal-hal serupa dengan kegiatan yang tidak dimotori oleh DIKTI atau yang dikatakan bergengsi aku menjadi sedikit enggan. Tapi akhir-akhir ini, pikiranku kembali sedikit terbuka, bahwa berkontribusi tak boleh mengenal wadah. Meneliti tak boleh pandang-pandang apa event-nya. Selagi event itu dapat membuat banyak orang merasakan manfaat. Namun perlu dipikirkan juga apa yang harus dikorbankan jika ingin melakukannya dan manfaat apa yang akan didapat jika melakukannya. Bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk orang lain.

Sekarang, aku akan menjadi sebuah gelas kosong. Seperti apa yang menjadi prinsip salah satu temanku. Dan dia bukan orang biasa di mataku. Dan, GELAS KOSONG... 

Mungkin akan terisi penuh, tapi akan ku salin tiap hari. Sehingga aku akan selalu menjadi gelas kosong yang senantiasa membutuhkan isi. 
Peneliti muda, itulah yang akan ku pakai sebagai profesi dan jabatan fungsionalku saat ini. Dengan jabatan struktural mahasiswa S1. hehe.

Bismillah..

Walk You in Your Own Way

Aku orangnya ... tak mau setengah-setengah untuk mengerjakan sesuatu.
Kadang, aku sering berlebihan dalam mengerjakannya. Mungkin karena jiwa ini yang masih sedikit labil. Maklum, masa remaja belum sepenuhnya pergi.



Karena sifat itu pula, kadang aku tak bisa mengerjakan beberapa hal secara bersama. Bagiku, mengerjakan beberapa hal serentak sama saja seperti pecah konsentrasi. Dan pecah konsentrasi sama dengan pecah hasil. Kembali pada tak mau setengah-setengah mengerjakan sesuatu, aku lebih sering memilih mengerjakan satu saja hal. Namun aku memikirkannya dengan sempurna.





Beda lubuk beda ikannya. Pepatah memang kadang benar adanya.

Di lingkungan ini, di Jogja, tempat aku kuliah. Hal seperti itu kadang tak sesuai. Suasana belajar, berorganisasi, berprestasi, bergaul, dan ber- macam-macam lainnya tak bisa dipisah-pisah. Mau tidak mau harus dikerjakan bersamaan, atau paling tidak bersambilan.



Namun yang namanya manusia, jika tak memiliki pendirian dan pilihan hidup tak puas rasanya.

Aku berpikir, untuk jangka pendek, selama di sini (di jogja) mungkin itu tak akan optimal. Namun untuk jangka yang lebih panjang, aku yakin cara yang seperti itu yang lebih optimal bagiku. Dan setiap orang tak sama, mungkin bagi yang lain, itu bukan jalan terbaik.


Berjalanlah kamu dengan caramu sendiri.