Niat dan Rasa Syukur

“Mas Fajrun, kalau sudah besar nanti mau ikut Pak Jiman pulang ke Jogja, kuliah di UGM?”


“Belum tahu, Pak.”

Percakapan itu terjadi antara saya dan seorang guru olahraga saat rekreasi kelulusan SD ke Surabaya. Beliau bernama Sujiman, berasal dari Yogyakarta, dan ditugaskan untuk mengajar SD di sebuah desa di Kabupaten Sampang, Pulau Madura, Jawa Timur. Sebuah sekolah yang berjarak 30 kilometer dari pusat kota.

Menamatkan SD di sebuah desa terpencil bukanlah pilihan saya. Itu pilihan Tuhan untuk saya. Selulus SD, saya melanjutkan ke SMP di tempat yang sama. Tidak pernah terpikir ke mana saya akan melanjutkan sekolah. Hari-hari selama SD dan SMP berjalan seperti biasa. Saya belajar bersama teman-teman dan sesekali mengikuti dan menjuarai lomba di tingkat kabupaten. Menjelang kelulusan SMP, saya terpikir untuk melanjutkan sekolah keluar kabupaten meskipun masih dalam keadaan ragu untuk mendaftar. Tiba-tiba, seorang guru yang juga ibu dari teman saya berkata, “Mas Fajrun jadi daftar SMA 3 Pamekasan apa tidak?” Dan saya pun menjawab spontan pertanyaan beliau, “Jadi, Bu.”

Singkat cerita, saya diterima di SMAN 3 Pamekasan, sebuah sekolah favorit di Pulau Madura. Sekolah tersebut memiliki program Kelas Unggulan dimana 30 peserta didiknya merupakan siswa-siswi terbaik dari empat kabupaten di Pulau Madura dan proses seleksinya dilakukan mirip seleksi masuk perguruan tinggi, ada Tes Potensi Akademik (TPA) dan Tes Mata Pelajaran (Matematika dan IPA). Selain itu, peserta didiknya ditempatkan di asrama sekolah dengan jam belajar tambahan lima kali 90 menit setiap pekannya dan semua biaya pendidikan selama tiga tahun ditanggung oleh pemerintah kabupaten dan sebuah yayasan yang menaungi. 

Alhamdulillah, saya mengucap syukur sebesar-besarnya atas takdir tersebut. Itu bukan pilihan saya, melainkan pilihan Tuhan untuk saya. Melanjutkan sekolah dari sebuah SMP terpencil ke SMA favorit merupakan sebuah loncatan yang baik, bahkan sangat baik. Dari situ saya sadar, jika kita telah berniat, disertai usaha dan doa, pasti jalan untuk meraihnya akan terlihat dan kita tinggal melewatinya.

Di tahun ketiga SMA, saya masih belum terpikir ke mana akan melanjutkan studi. Yang saya pikirkan saat itu hanya satu, saya mau kuliah di luar provinsi, seperti halnya saya melanjutkan SMA di luar kabupaten tempat saya tinggal. Sekali lagi, ini tentang niat. Saya sudah melompat tiga tahun yang lalu. Maka sekarang saya harus melompat lebih jauh lagi, mengejar kampus top negeri ini. Itulah niat sederhana saya saat itu. 

Dengan berbekal informasi dari beberapa sumber termasuk mencari sendiri lewat situs resmi, saya memilih beberapa perguruan tinggi ternama negeri ini sebagai pilihan studi. Ada tiga pilihan kampus saat itu, satu di Bandung, satu di Jakarta, dan satu lagi di Yogyakarta. Sebelum SNMPTN diselenggarakan, UGM terlebih dahulu mengadakan seleksi masuk mandiri bernama UM-UGM dan saya berpikir untuk mengikutinya. Dalam keraguan mendaftar UM-UGM jalur UTUL, seorang teman menegaskan saya dengan pertanyaan, “Kamu jadi ga ikut UTUL?” Dan saya pun spontan menjawab, “Iya, jadi.”

Segera saya menyiapkan segala kelengkapan persyaratan UTUL. Sembari bercerita dengan orang tua di rumah via telepon karena jarak rumah yang cukup jauh, saya mendaftarkan diri mengikuti UTUL via internet. Dari tiga pilihan program studi yang tersedia, saya hanya memilih dua. Kenapa dua? Ya karena saya memang tertarik pada dua pilihan itu dan tidak pada pilihan yang lain. Pilihan tersebut adalah S1 Arsitektur dan S1 Kartografi dan Penginderaan Jauh. Saya membuka diri pada salah satu di antara keduanya. 

Perjuangan untuk masuk UGM belum selesai di situ. Tepat di hari keempat/terakhir Ujian Nasional (UN), kami bertiga-belas (saya dan teman-teman) yang telah mendaftar UTUL duduk bersama setelah rangkaian UN selesai. Kami bermusyawarah mengenai keberangkatan ke Jogja, penginapan selama di Jogja, alumni SMA yang dapat dihubungi, dan hal-hal teknis lainnya. Semuanya memang belum kami rencanakan jauh-jauh hari sebelumnya. Karena saat-saat itu memang dipenuhi rangkaian ujian akhir sekolah. 

Kami pun berangkat ke Jogja hari itu pula sehabis shalat magrib. Sabtu pagi, kami sudah sampai Jogja. Hari itu kami manfaatkan untuk memastikan ruang dan gedung dimana nomor kursi kami berada. Esoknya kami melakukan tes dan malamnya kami langsung pulang untuk mengikuti ujian praktek akhir sekolah. Saya sadar saat itu, memang itulah perjuangan yang harus dibayar untuk sebuah keinginan besar. Keinginan untuk bisa menjadi lebih baik dengan berada di lingkungan yang baik. Ya, lingkungan Gadjah Mada-lah yang saya maksud. 

Singkat cerita, hari dimana hasil UTUL diumumkan pun tiba. Alhamdulillah atas segala nikmat-Nya, ketika mengecek nomor tes UTUL yang deretan angkanya masih saya ingat saat itu, saya membaca sebuah kalimat yang kurang lebih isinya seperti ini:

“Selamat, anda diterima di Program Studi Kartografi dan Penginderaan Jauh”

Ya, saya menjadi bagian dari Gadjah Mada. Saya diterima sebagai mahasiswa S1 program studi Kartografi dan Penginderaan Jauh. Sebuah program studi yang telah saya pilih sesuai dengan keinginan hati saya sendiri. Saya mengucap syukur yang sebesar-besarnya. Saya bersujud saat itu untuk mengagungi kebesaran-Nya. Apa yang telah saya inginkan tercapai. Sebuah lompatan lebih besar telah saya lakukan. Saya menjadi bagian dari kampus top negeri ini. Namun saya sadar, itu semua terjadi bukan karena pilihan saya, melainkan karena pilihan Tuhan untuk saya.

Rabu, 18 Agustus 2010 adalah hari dimana mahasiswa D3 dan S1 UGM dikukuhkan. Dari situlah perjalanan saya sebagai mahasiswa dimulai. Tidak mudah memang untuk beradaptasi di sini. Ada beberapa perbedaan yang saya rasakan dibanding lingkungan saya sebelumnya, antara lain status siswa dan mahasiswa serta budaya kehidupan di Madura dan di Jawa.

Adaptasi tersulit adalah menyesuaikan diri dengan pola belajar yang baru. Namun hal itu tetap saya lakukan dengan sebaik mungkin. Hasil semester pertama memanglah tidak terlalu tinggi, saya memperoleh Indeks Prestasi (IP) yang nyaris tidak diperkenankan mengambil SKS penuh pada semester berikutnya. Tapi tidak apa-apa, saya tetap bersyukur atas semua nikmat dan kesempatan yang telah Ia berikan.

Hari-hari kuliah saya jalani dengan baik. Saya mencoba beradaptasi dengan cara membuka diri, termasuk mengikuti beberapa organisasi. Strategi yang saya pakai saat itu adalah saya harus fokus pada satu hal agar hasilnya optimal namun tidak menutup diri pada hal lain agar sudut pandang bisa tetap terbuka dan rasional. Saya memilih untuk mendalami dunia Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang diwadahi oleh UKM Kelompok Studi Fakultas “Geography Study Club”. Saya bergabung di UKM tersebut. 

Akhir semester kedua, tepatnya Juli 2011. Saya terpilih menjadi delegasi PIMNAS ke-24 di Makassar sebagai Kontingen UGM. Saya dan dua orang teman lolos seleksi PKM-Gagasan Tertulis dengan ide penggunaan pesawat radio control (drone) untuk menentukan jalur evakuasi korban bencana. Saya sempat tidak percaya waktu itu karena kami bertiga merupakan mahasiswa tingkat pertama dan berasal dari satu program studi yang sama. Sehingga ilmu yang kami miliki belum terlalu dalam dan cakupan kajiannya tidak multidisipliner. Namun Ia telah menetapkan takdirnya dan saya bersyukur. 

Akhir 2012 saya mencoba memasukkan hasil karya tersebut ke sebuah International Conference. Dan Alhamdulillah, paper yang saya masukkan lolos dan berhak dipresentasikan dalam “The Ninth International Conference on Environmental, Cultural, Economic, and Social Sustainability” pada Januari 2013 di Hiroshima, Jepang. Saya pun berangkat untuk memaparkan paper yang telah saya tulis dalam rangkaian conference tersebut. Saya pun tidak berhenti bersyukur. Itu adalah kesempatan pertama saya mengikuti pertemuan ilmiah tingkat internasional dan bertemu dengan pakar-pakar di bidangnya masing-masing dari berbagai belahan dunia. Sedikit gugup memang saat presentasi namun itu saya anggap tidak masalah. Yang saya pikirkan saat itu adalah biarkan gugup itu datang dan selesai di umur 21 tahun. Saya tidak berhenti bersyukur atas semua kesempatan yang telah Ia berikan.

Foto Bersama dengan Ketua Penyelenggara 'The Ninth International Conference on Environmental, Cultural, Economic, and Social Sustainability', delegasi Indonesia, dan perwakilan beberapa negara. -Hiroshima, 2013-

Desember 2013, tepat saat Dies Natalies UGM ke-64, saya mendapat penghargaan sebagai Mahasiswa Berprestasi Fakultas Geografi UGM. Penghargaan tersebut mengantarkan saya mengikuti seleksi mahasiswa berprestasi tingkat universitas dan tergabung dalam Komunitas Mahasiswa Berprestasi UGM (Kommapres UGM).

Saat menerima penghargaan sebagai Mahasiswa Berprestasi pada Dies Natalis UGM ke-64

Banyak pelajaran dan pengalaman yang saya dapatkan selama saya belajar di sini, di Gadjah Mada. Dan saya yakin, semua itu tidak akan pernah sia-sia dan pasti membawa manfaat di masa depan. Juli 2015, saya menyudahi status saya sebagai mahasiswa S1 dan mendapat gelar Sarjana Sains (S.Si.) dengan predikat cum laude. Saya sadar, gelar dan predikat tersebut bukanlah sebatas asesoris dan kepuasan diri, melainkan ada beban moral dan tanggung jawab yang harus saya emban.

Pertanyaan seorang guru olah raga saat perpisahan SD dahulu Alhamdulillah dapat saya jawab dengan kalimat yang baru, “Alhamdulillah, Bapak. Saya sudah lulus dari Universitas Gadjah Mada. Terima kasih atas pertanyaan pemantik Bapak dahulu yang bahkan saat itu saya belum tahu apa-apa.”

Ini tentang niat dan rasa syukur. Niat membawa kita pada satu hal yang kita tuju. Orang lain menyebut itu pandangan, ada pula yang menyebutnya visi. Dan rasa syukur membuat kita menyadari di titik mana sekarang kita berada dan sejauh apa kita telah berjalan sejak langkah kaki pertama. Segala puji dan syukur atas nikmat yang telah Allah berikan.


--------------------
Tulisan ini dimuat dalam Buku Big Dreams, Big Hopes: Kumpulan Memoar Mahasiswa Universitas Gadjah Mada, bersama dengan kisah-kisah lainnya yang lebih inspiratif dari Komunitas Mahasiswa Berprestasi UGM.

Personal Social Responsibility: A Little Gift to My Homeland-Village

Pernahkah kita mendengar istilah Personal Social Responsibility? Dan apa bedanya dengan Corporate Social Responsibility (CSR)? Secara sederhana, keduanya berada pada satu frame yang sama, yaitu social responsibility (tanggung jawab sosial). Lalu dimanakah letak perbedaannya? Mari kita bahas di sini.

Menurut laman businessdictionary.com, "Social responsibility is the obligation of an organisation's management towards the welfare and interests of the society in which it operates" (Tanggung jawab sosial merupakan kewajiban dari suatu manajemen organisasi terhadap kesejahteraan and perhatian masyarakat dimana dia beroperasi). Sedangkan menurut laman investopedia.com, "Social responsibility is the idea that business should balance profit-making activities with activities that benefit society; it involves developing business with a positive relationship to the society in which they operate" (Tanggung jawab sosial merupakan ide bahwa bisnis seharusnya menyeimbangkan kegiatan yang menghasilkan profit dengan kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat; ini melibatkan pengembangan bisnis dengan hubungan positif kepada masyarakat dimana mereka beroperasi).

Ada dua hal yang sama-sama disinggung dari kedua definisi tersebut, yaitu society 's welfare, interest, and benefit (masyarakat dalam konteks kesejahteraan) dan in which they operate (dimana mereka beroperasi). Kemudian jika kita tarik sebuah kesimpulan sederhana, corporate social responsibility adalah sebuah tanggung jawab dari suatu perusahaan dalam melakukan aktivitas yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat dimana perusahaan tersebut berada. Lalu bagaimanakah dengan personal social responsibility? Apa defisininya? Dan bagaimana pula hubungannya dengan CSR?

Tidak jauh berbeda, personal social responsibility (PSR) dapat diartikan sebagai tanggung jawab personal seseorang yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat dimana dia tinggal, dibesarkan, atau dilahirkan. Itu definisi pribadi dari saya. Saya pun mencoba mencari beberapa referensi tentang ini, dan ternyata istilah serupa sudah pula digunakan oleh orang lain beserta definisinya. Dalam beberapa sumber, istilah lain yang digunakan untuk merujuk pada maksud yang sama adalah individual social responsibility (ISR).

Dalam sebuah laman pribadi arvinddevalia.com, Ia memberikan sebuah defisini yaitu "Personal social responsibility is all about doing to others what you would like others do to you. It is about recognizing how your behaviour affects others, and holding yourself accountable for your actions (Tanggung jawab personal adalah tentang melakukan semua hal kepada orang lain yang kamu ingin orang lain melakukannya padamu. Ini tentang mengenali bagaimana sikapmu memengaruhi orang lain, dan memastikan dirimu bertanggung jawab atas tindakanmu). Sedangkan, dengan menggunakan terminologi ISR, Anuptiwari dalam laman slideshare.net/anuptiwari memberikan definisi berikut, "Individual social responsibility is about an individual becoming responsible in his/her actions that have affect on communities outside his/her immediate circle. The Immediate circle being family and friends" (Tanggung jawab individu adalah tentang perilaku seseorang yang berdampak pada masyarakat di luar lingkaran dekatnya. Lingkaran dekat adalah keluarga dan teman).

Sebenarnya, personal social responsibility ini merupakan sebuah istilah yang keluar begitu saja dari nalar pribadi saya. Boleh dikata ini hasil dari sebuah kontemplasi sederhana, boleh pula dianggap sebagai sebuah kesimpulan dari nalar logika. Istilah ini muncul selepas S1, ketika saya mulai sering pulang-pergi rumah-rantau, antara Madura, Jogja, dan Jakarta. Selama kuliah dulu, saya kerap terlibat dalam beberapa kegiatan yang menyangkut kesejahteraan masyarakat, baik itu penelitian, pengabdian, ataupun kolaborasi keduanya. Namun, dari semuanya, sangat sedikit yang berhubungan langsung dengan daerah kelahiran saya sendiri. Dari semua kegiatan yang saya lakukan tersebut, hanya satu yang berlokasi di Pulau Madura, itu pun terletak di Kabupaten Bangkalan, bukan tempat saya dilahirkan. Itu pun saya terlibat hanya pada tahap initial observation (observasi awal) dalam menyusun program pengabdian masyarakat berbasis riset. Selebihnya, saya tidak dapat berperan lebih banyak karena saat itu memang sudah ada beberapa kegiatan lain yang lebih dulu diemban.

Lalu setelah itu, saya mencoba untuk membuka mata lebih lebar, mengobservasi, dan mencari ide untuk dapat membuat sesuatu yang cukup sederhana dan paling mungkin untuk dilakukan saat ini, dan tentu dapat bermanfaat untuk banyak orang. Dalam beberapa kali kesempatan pulang, saya mencoba memikirkan hal apa saja yang dapat saya lalukan di sini, di tempat saya dilahirkan, dalam lingkup yang paling kecil. 

Dan di satu waktu, saat santai sore hari di bulan Agustus lalu, bibi saya meminta tolong untuk mengantarkan dua buah tumpeng untuk mengikuti lomba kuliner dalam rangka HUT 17 Agustus ke kantor kecamatan. Kebetulan sore itu pula Bapak Camat sedang bersantai di kantornya, saya pun sempat bersalaman dengannya. Sambil menunggu, saya berkeliling pendopo kantor camat dan tetiba melihat suatu gambar tertampang yang bagi saya cukup mengiris hati. Dengan detil yang agak sedikit saya lupa, gambar itu berjudul 'Peta Kecamatan Tambelangan' dengan kondisi lusuh, warna sudah mulai pudar, dan tidak cukup informatif dalam menyajikan sebuah informasi dasar secara spasial.

Lalu hati ini berbenak, "Saya ini lulusan Geografi, berkonstrasi pada ilmu pemetaan, dan telah menghabiskan waktu lima tahun untuk mempelajari bagaimana fenomena-fenomena di atas bumi ditampilkan dalam sebuah gambar secara sederhana agar dapat dengan mudah dipahami manusia." Pikiran saya pun ikut menimpal, "Saya sudah pernah memperbarui Peta Rupabumi Indonesia di Kabupaten Ponorogo, sempat pula memetakan potensi daerah tangkapan ikan di perairan utara Pulau Bali, pernah belajar memetakan permukaan dasar laut di Selat Sunda bersama TNI AL, pun telah memetakan satu pulau kecil bernama Jefman di Raja Ampat, Papua. Apa jadinya jika saya tidak bisa memberi apa-apa pada daerah saya sendiri?"

Baiklah, ini misi pertama saya, membuat Peta Administrasi Kecamatan Tambelangan. Di waktu senggang bulan Oktober lalu, saya pun mencoba membuatnya. Agak susah memang, karena peta ini memiliki kedetilan sampai tingkat desa, tapi tak sesulit saat di Raja Ampat dahulu. Dan saat ke Jogja awal November kemarin, saya cetak peta tersebut dalam kualitas yang menurut saya paling baik, bisa bertahan di luar ruang dalam waktu lama dengan kondisi cuaca Indonesia.

Sekembalinya dari Jogja, siang tadi, saya berkunjung kembali ke kantor kecamatan dan menemui Bapak Camat secara langsung. Kebelutan saat itu, Bapak Kapolsek dan Bapak Danramil sedang berada satu ruang dengan beliau. Dan terjadi percapakan singkat:

Saya: "Assalamu'alaikum, permisi, Pak."
Pak Camat: "Wa'alaikumussalam. Mari mas, silakan duduk. Ada apa ya?"

Saya: "Ini, Pak. Saya mau memberikan ini untuk kecamatan."
Pak Camat: "Apa ini mas?"

Saya: "Silakan Bapak buka sendiri."

Penyerahan Peta Administrasi Kecamatan Tambelangan kepada Bapak Camat Tambelangan.

Pak Camat: "Wah, bagus ini mas. Nanti bisa kita bingkai dan pajang."
Saya: "Iya, Bapak, ini Peta Kecamatan Tambelangan. Saya harap ini bisa bermanfaat buat semua masyakarat Tambelangan."

Sambil ikut memerhatikan, Pak Kapolsek bertanya: "Ini buatnya pakai apa mas?"
Saya: "Sudah pakai software, Pak. Jadi tidak lagi manual seperti jaman-jaman dahulu."

Dari sudut ruang berbeda Pak Danramil memerhatikan setiap bagian peta sambil berkata, "Skala 1:15.000."

Pak Camat: "Iya mas. Terima kasih banyak. Untuk sementara, nanti peta ini disimpan di sini. Kalau pembangungan pendopo baru sudah selesai, peta ini bisa kita pajang di luar."
Saya: "Iya, Pak. Begitu juga harapan saya."

Pak Camat: "Mas ini dari mana?"
Saya: "Saya asli sini, Pak. Putra Bapak Rifa'i. Tapi saya sudah beberapa tahun merantau. Jadi tidak begitu sering ada di rumah sendiri."

Percakapan singkat pun berlanjut. Dan sebagai penutup, kami pun mengabadikan momen tersebut.

Foto Bersama Kepala SKPD Kecamatan Tambelangan, Kabupaten Sampang.
Dari kiri: Kalpolsek, Danramil, Camat, dan saya.

Inilah personal social responsibility yang saya maksud. Dan baru karya inilah yang bisa saya berikan pada tempat lahir saya.

Teringat saya pada sebuah penggalan puisi karya W. S. Rendra, bertajuk Sajak Seonggok Jagung,
"Apakah gunanya seseorang belajar filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran, atau apa saja, jika pada akhirnya, ketika ia pulang ke daerahnya, ia berkata: Di sini aku merasa asing dan sepi!"
Juga pada sebuah sabda dari manusia terbaik yang pernah ada di muka bumi ini, 
"Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesama."

Setelah Ini

Telah lama, hampir 2 tahun lalu, terakhir kubuat tulisan di blog ini. Banyak yang hari ini ingin dibagikan. Karena memang sejak saat itu, Desember 2014, banyak hal telah berlalu. Begitu banyak, bahkan lebih.

Suatu fase yang sedikit panjang telah terlewati. Perjuangan menuntaskan skripsi, pergi ke negara tetangga, berpindah hunian ke ibukota, pulang ke rumah, sampai kembali berada ke Jogja.

Lalu apa setelah ini?


Tulisan ini hanya sebuah pengantar, bahwa blog ini akan kembali dihuni setelah sekian lama sempat tak dihiraukan.

Setelah ini akan kutulis beberapa cerita tentang perjalanan-perjalananku sebelumnya. Begitu pun tentang hal-hal lainnya.

Mungkin ke depan, aku akan lebih banyak bercerita dalam tulisan.

Untuk apa?

Untuk merekam histori perkembangan cara berpikir dan apa yang tengah dipikirkan dalam setiap fasenya. Yang mungkin suatu saat ketika aku lupa akan sesuatu, aku dapat menemuinya di sini.


Dalam sejuknya udara Jogja, 8 November 2016