Safari Singkat ke Ibukota

27 Maret 2017
Siang tadi, selepas dari bandara mengantar seorang sahabat yang akan kembali ke Bangkok setelah berlibur seminggu untuk bertemu istrinya di Jogja, aku menuju tempat biasa. Perpus Pusat UGM, tempatku menghabiskan waktu di jam-jam kantor hampir setiap hari, karena memang sejak Januari kemarin masih belum berkantor lagi.

"Biasanya ada kabar baik di tiap hari Senin, tapi sepertinya hari ini belum ada kabar apa-apa.", gumamku dalam hati. Ya sudah, selepas shalat dhuhur, kukerjakan beberapa to-do-list untuk hari ini, dan sebelum jam 2 aku pulang dan memilih istirahat siang.

20 Maret 2017
Tepat seminggu sebelumnya di pagi hari, aku mendapat info mengejutkan untuk segera berada di Cibinong pagi esok harinya. Senin pagi info kuterima, dan Selasa pagi sudah harus berada di sana. Sedikit menantang memang cerita ini.

Baiklah, dengan jadwal harian yang sudah tertata pagi itu, sedikit perubahan perlu aku lakukan. Kucari tiket Jogja-Jakarta via kereta dan pesawat, sesuaikan jam kedatangan di Jakarta, diskusi dengan teman-teman, dan akhirnya sepakat untuk naik kereta. Dan ternyata, tiket sudah tak bisa dipesan via apps, pun sepertinya via channel lainnya. Jadi harus pergi ke stasiun langsung. Beruntung karena jarak dari tempat tinggal ke stasiun yang begitu dekat, tak sampai 1 kilometer, akulah yang pergi ke sana untuk beli tiket. 

Begitu tiket Jogja-Jakarta sudah di tangan, jam menunjukkan 11.30. Gaswat memang, jam 1.30 waktunya untuk les; dan 3 homework belum selesai kukerjakan, 1 reading dan 2 writing task. Buru-buru aku kembali dan kirim WA ke grup baru, "Tiket sudah di tangan gengs. Aku ada les siang ini, yang selow tolong belikan tiket Jakarta-Jogja buat besok. Kita pulang langsung tanpa nginap." Dengan percakapan yang cukup singkat, dipilihkan tiket kereta lagi untuk pulang ke Jogja esok harinya.

Selesai les jam 3 sore, lanjut packing sampai menjelang maghrib. Tak terlalu banyak yang harus dibawa karena cuma perjalanan sehari, tapi ada beberapa dokumen yang harus disiapkan tanpa ada yang boleh tertinggal. Sehabis maghrib dan berbuka, barulah aku mandi, siap-siap, dan berangkat ke stasiun. Kereta pun berangkat menuju Ibukota.

Jakarta, 21 Maret 2017
Sebelum subuh kami sudah tiba di Jakarta. Sambil menunggu Commuter pertama datang, aku dan teman-teman memilih sarapan (yang lebih mirip jam makan sahur) dan menunggu adzan subuh. Barulah sekitar setengah 6 kami melaju menuju Stasiun Bojong Gede via Commuter Line dan langsung lanjut via GrabCar ke kantor BIG (Badan Informasi Geospasial).

Komplek BIG, Cibinong
Jam menunjukkan 9.10 begitu kami masuk komplek LIPI-BIG. Aku mendapatkan giliran kedua setelah temanku, sedangkan dua orang lagi mendapat giliran setelahku. Itu adalah hari wawancara. Aku pun memilih pergi ke masjid komplek untuk bersiap-siap, sementara temanku yang pertama langsung ke ruang wawancara. Saat hendak keluar kamar mandi, handphone-ku terjatuh dan layarnya pun pecah. Aal iz well, tak masalah. Bukan itu yang harus diperhatikan waktu itu. Begitu tiba di depan ruang wawancara, banyak wajah familiar yang menyapa. Satu orang seniorku waktu di GSC dulu, mantan ketua juga. Beberapa orang teman seangkatan, sebagian adik angkatan, dan sebagian yang lain dari kampus berbeda. Serasa mini reuni waktu itu. 

Jam 10 lewat beberapa menit, giliranku tiba. Aku pun masuk dan mulai memperkenalkan diri. Setelah beberapa pertanyaan formal diajukan oleh tiga orang pewawancara, kami lebih banyak berdiskusi. Bagaimana perspektif mereka dan bagaimana perspektifku, juga apa ekspektasi mereka dan apa pula ekspektasiku. Tak terasa lewat sudah waktu setengah jam yang diberikan. Aku keluar dan mengobrol dengan teman-teman, semetara giliran setelahku masuk ruang. Sampai menjelang dhuhur, kami pun pergi ke Masjid Al-Idrisi, masjid milik BIG yang tengah direnovasi total dan akan segera selesai dengan wajah yang jauh lebih megah dari sebelumnya.

Selesai shalat, ada sebuah kultum yang sepertinya merupakan kegiatan rutin di Al-Idrisi dan disampaikan secara bergilirAku pun memilih bangkit dan shalat jama' takdim ashar terlebih dahulu. Setelahnya, dalam keadaan sedikit bimbang antara langsung keluar dan tetap duduk, aku memperhatikan penjelasan dari khotib kultum. Beliau menyampaikan nasehat tentang 10 ciri yang harus dimiliki oleh pribagi muslim, lengkap dengan contohnya dalam konteks kehidupan saat ini.

Aku seakan diingatkan kembali tentangnya. Ya, aku mengerti dan juga mempelajarinya. Itu semacam 'concept of a life balance' yang memang perlu dimiliki oleh setiap muslim. Banyak memang konsep hidup yang bisa dipegang sebagai acuan. Namun konsep ini menurutku adalah yang paling lengkap, mulai level teoritis sampai praktis. Ibarat variabel-variabel yang dipakai untuk mengukur suatu progres/kemajuan, konsep ini memiliki variabel yang lengkap. Sebagian orang menyebutnya Muwashafat, yang terdiri atas kebersihan dalam beraqidah, kebenaran dalam beribadah, kekokohan dalam berakhlak, kekuatan fisik, kecerdasan dalam berpikir, perjuangan dalam melawan nafsu, kepandaian menjaga waktu, keteraturan dalam menjalankan urusan, kemandirian secara ekonomi, dan kebermanfaatan bagi orang lain.

Yang aku kagumi adalah, mereka (Bapak-bapak dan sebagian Ibu-ibu) masih sempat memperbincangkan hal tersebut di sela-sela kesibukan pekerjaannya. Itu artinya hal tersebut tidak sekadar ada di lisan, melainkan juga diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Bisa jadi tidak semua orang menerapkannya, mungkin hanya sebagian atau beberapa. Namun justru hal itulah yang membuatku kagum pada mereka, yaitu memilih jalan tengah; menyeimbangkan kehidupan dunianya dengan akhiratnya.

Selesai sudah kegiatan di BIG. Itu kali kedua aku ke sana. Kali pertama dulu adalah untuk urusan skripsi. Tiga tahun lalu BIG memberikanku support dengan memfasilitasi bahan penelitianku yang memang harus kukejar langsung sampai ke sana.

Kembali ke Pusat Ibukota
Kami pun kembali ke Jakarta via Commuter Line. Hilir-mudik warga ibukota tampaknya masih sama dan seperti tak akan jauh berubah sampai beberapa tahun ke depan. Mereka punya kesibukan masing-masing mulai dari pagi sampai pagi lagi. Jakarta, dan kota-kota sekitarnya, ibarat gabungan antara perumahan, perkantoran, sekolah, pasar, dan pusat-pusat manusia lainnya dalam ukuran raksasa yang tiap-tiap sudutnya saling tersambung. Orang Depok bekerja di Tangerang, orang Bogor berkantor di Ancol, orang Bekasi bertugas di Jakarta Pusat, dan begitu seterusnya. Aku memilih menikmati pemandangan itu dan mengajak temanku ke Kota Tua, karena tidak banyak pilihan waktu itu dan wisata historis sepertinya paling menarik.


"Pemandangan Kota Tua di sore hari di depan Museum Fatahillah"

Tiba-tiba aku pun teringat dengan kosku yang lama, Setiabudi. Tempat dimana kuhabiskan waktu 5 bulan saat bekerja di Kementerian PUPR tahun lalu. Kuajak teman-temanku ke sana dan mereka pun tak masalah. Let's enjoy the city.

Kawasan Setiabudi, suatu permukiman padat penduduk di ujung utara Kota Jakarta Selatan, lebih dekat ke Bundaran HI daripada Bundaran Senayan. Diapit oleh dua jalan ruas utama ibukota, Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan H. R. Rasuna Said. Dua jalan itu dipenuhi dengan pusat bisnis dan pelayanan adminstrasi. Mayoritas rumah hunian diperuntukkan sebagai tempat kos. Dengan keadaan itu, cukup terbayang lah seperti apa hiruk-pikuk setiap waktu di sana, terlebih saat jam berangkat dan pulang kerja.

Tapi masih ada kehidupan di Setiabudi, lebih tepatnya masih ada sesuatu yang membuatku merasa hidup berada di sana. Kebetulan kosku berada hampir di ujung blok. Di blok sebelah selatan ada SMAN 3 Jakarta, sedangkan blok sebelah timur adalah pusat kuliner Setiabudi, tempat Mie Aceh Bang Iwan berdiri, entah sejak kapan. Dua tempat itulah yang setidaknya masih membuatku merasa hidup tinggal di Jakarta.

SMAN 3 Jakarta, yang katanya SMA beken di ibukota, tempat Nikita Willy dan bahkan Aburizal Bakrie sekolah di sana, punya masjid yang sepertinya sudah bukan standar mushalla sekolah. Bisa dibilang lebih bagus daripada masjid-masjid komplek perumahan. Ada takmir dan kantor takmir, plus semacam tempat tinggal untuk takmirnya. Kamar mandi lengkap dan bersih. Ada CCTV dan ada ACnya. Dan yang paling penting, jamaahnya hidup; mulai dari guru, siswa sekolah, mas-mas kantoran semacam saya dulu, bapak-bapak ojek online, bapak-bapak penjual kaki lima, bahkan kakek-kakek paruh baya yang sudah tinggal menikmati masa tua. Sungguh, masjid ini membuat rasa rindu pada Jogja saat di sana dahulu seakan terobati.

Tepat waktu maghrib kami tiba di Masjid ini dan aku pun segera mengambil wudhu. Saat hendak membuka jam tangan, tiba-tiba ia terjatuh ke lantai dengan posisi datar terbalik. Dan benar dugaanku, lensanya pecah. Itu baru pertama ia jatuh kemudian lensanya pecah, biasanya setelah jatuh tak apa-apa. Aal iz well. Tak apalah, kaca pecah bisa diganti. Yang penting sekarang shalat dulu. Selesai maghrib lalu kulanjutkan shalat isya jama' takdim. Masih sama, semua masih sama. Suasana masjid ini, suhu ACnya, bau pewangi ruangannya, dan alas sajadahnya pun masih sama. Mengingatkanku saat masih di sini, mengingatkanku pula dengan sahabatku satu kantor, satu kosan, satu kampus (walaupun baru kenal di Jakarta karena beda fakultas) yang sekarang tengah menempuh studi masternya; dialah teman yang tiba-tiba menjadi sahabat karib. 

Setelah dari sini kami pun lanjut ke tujuan satunya. Tinggal jalan sedikit, tak sampai 100 meter, kami pun tiba di Mie Aceh Bang Iwan. Katanya sih ini salah satu Mie Aceh paling terkenal di ibukota, selain Mie Aceh Seulawah - Bendungan Hilir dan Mie Aceh Pidie Jaya - Margonda, Depok. Benar memang, tiga tempat itu punya ciri khas dan keunggulan masing-masing. Aku memang telah menjadi penggemar mie Aceh sejak berada di Jogja, lebih tepatnya sejak mengenal mie Aceh begitu tinggal di Jojga. Meskipun di Jogja ada beberapa cabang Bungong Jeumpa yang gampang sekali untuk didatangi, namun tiga mie Aceh di ibukota ini punya tingkat rasa yang jauh lebih tinggi.


"Penampakan Mie Aceh Bang Iwan - Mie Goreng Daging Plus Telur"

Ada tiga menu favorit di sini, mie goreng (termasuk mie tumis), teh tarik, dan kopi gayo susu. Sayangnya, aku hanya pesan mie tumis daging dan teh tarik karena tak mungkin malam itu pilih kopi, atau tak bisa tidur sampai Jogja. Dari tiga orang pencicip, mie tersebut mendapat rating 7.0, 7.5, dan 8.0 dari skala 0-10. Mantap memang Mie Aceh Bang Iwan ini.

Sekitar jam 9.00 malam, saat rasa lelah dan kenyang menyatu. Kami langsung pesan GrabCar menuju stasiun untuk langsung kembali ke Jogja dengan jadwal keberangkatan sekitar 10.30. Dan di luar dugaan, agak berbeda suasana kereta malam itu dengan malam sebelumnya yang begitu longgar, malam ini semua kursi penuh. Dan entahlah, aku yang sudah kehabisan energi hari itu memilih tidur dan bangun esoknya saat kereta sudah sampai di daerah Cilacap. Dan jam 6.30 pagi kereta sudah merapat di Jogja.

Jogjakarta, 21 Maret 2017
Alhamdulillah, well done. Safari satu hari berjalan lancar. Namun sepertinya kepala agak pening dan sempat bersin. Aku memilih istirahat sampai siang hari. Namun siangnya kondisi tak bertambah baik. Yes, this is influenza. Aku terkena flu sampai hari minggu di pekan itu. Aku baru sadar, tak ada jeda istirahat sejak Senin pagi sebelum berangkat ke Jakarta sampai kembali ke Jogja Rabu paginya. Berbaring sesaat saja pun tak ada.

Hikmah Perjalanan
Handphone jatuh dan layarnya pecah, berkunjung ke BIG, kultum siang di Masjid Al-Idrisi BIG, jam tangan jatuh dan lensanya pecah, Setiabudi, dan flu. Ya, semua ada hikmahnya. 

Mungkin layar handphone dan lensa jam tangan pecah memang sudah waktunya, tapi siapa tahu di situ ada ujian keikhlasan. Bisa jadi pula di baliknya ada pesan untuk lebih berhati-hati, karena merawat adalah bagian dari wujud bersyukur. 

BIG dan Setiabudi sepertinya memberikan pelajaran akan arti perjalanan. Perjalanan dalam arti yang lebih luas, lebih dari sekadar berpindah tempat. Yaitu perjalanan pemikiran, daya pikir dan daya nalar; dari masa lalu ke masa depan.

Kultum siang sebagai pengingat bahwa keadaan diri harus terus senantiasa dijaga. Ibarat sebuah alat ukur, itu penting untuk selalu dikalibrasi, dikembalikan dalam keadaan baik dan berfungsi normal. Jika hati baik maka seluruh tubuh itu akan baik, pun sebaliknya. Di samping itu, dalam kesibukan dunia apa pun, hendaknya kesibukan akhirat harus selalu kita imbagi. Jangan sampai ia dikalahkan oleh dunia. Seimbang adalah ukuran yang paling baik, insyaAllah.

Dan influenza, bisa jadi ini sebuah kesempatan diampuninya dosa-dosa, bisa pula sebuah ujian kesabaran. Tapi perlu juga dilihat dari sisi berbeda, yang tampaknya ini hasil dari time management yang kurang tepat, bahkan sebuah decision making yang kurang sempurna. Baiknya memang waktu itu jadwal kembali ke Jogja di-extend sehari lebih lama, agar bisa istirahat. Kalau pun tidak, seharusnya pulangnya dipercepat, tidak dengan kerata tapi dengan pesawat. Agak hectic memang waktu itu untuk beli tiket PP dan tak sempat berpikir panjang. 

27 Maret Sore 2017
Di tengah kegiatan Senin sore, seorang teman di grup WA menyebut namaku beserta ucapan selamatnya. Kubaca sekilas dan berucap Alhamdulillah. Kemudian kututup kembali sampai selesai shalat maghrib. Sekembalinya dari masjid, kubuka kembali info itu. Alhamdulillah, safari singkat ke ibukota pekan lalu sudah membawa hasil.

Benar memang, Senin hari ini juga punya kabar gembira. 

Bersambung...

Perempuan Hebat di Balik Perempuan-perempuan Hebat


Foto Kenangan: Ibu, Bibi, dan Nenek (Almh). Sekitar tahun 1965.

Gadis kecil yang tengah berdiri itu kelak menjadi seorang perempuan hebat. Mendampingi sang suami, ia mendidik generasi-generasi yang harapannya tidak hanya menjadi kebanggaan bagi mereka berdua, namun juga bemanfaat bagi lingkungan sekitar, bangsa, dan bahkan agama. Si kecil yang digendong adalah adiknya, kelak pun menjadi seorang perempuan hebat, membersamai sang suami mendidik generasi-generasi penerus yang tak kalah dengan cerita kakaknya.

Lalu dari manakah perempuan-perempuan hebat itu berasal? Siapakah yang telah menempanya menjadi sehebat saat ini? Apakah mereka wanita biasa dan kemudian menjadi hebat seiring dengan kehidupan yang dijalaninya bersama suami dan anak-anaknya? Ataukah jauh sebelum itu, mereka justru telah dipersiapkan untuk menjadi sehebat ini? Lalu siapakah yang menyiapkannya? Ayahnya, atau justru ibunya?

Ini cerita tentang perempuan hebat di balik perempuan-perempuan hebat. Kepergiaannya memilukan hati tiga generasi, khususnya sang suami, anak-anaknya, dan cucunya. Ialah nenekku, ia pergi meninggalkan kami semua di hari Jum'at subuh, tanggal 2 Juli tujuh tahun lalu. 

Saat itu, di malam hari yang hampir larut, ibu ditelepon oleh kakek bahwa nenek sedang tidak baik kesehatannya. Beberapa bulan belakangan memang itulah yang terjadi, kesehatan nenek sedang sangat tidak baik. Esok paginya, selepas subuh kami kembali dikabari bahwa kondisi nenek menjadi semakin kritis. Bergegas kami semua tunaikan shalat, kemudian kuantar ayah ke rumah keluarga besar yang jaraknya hanya sekitar satu kilometer dari rumah kami. Kemudian aku kembali ke rumah untuk menjemput ibu menuju rumah barat (sebutan untuk rumah keluarga besar). Dan kembali lagi untuk menjemput kakakku perempuanku.

Namun setibanya aku dengan kakakku, kulihat ibuku tengah menangis menyaksikan kepergian ibunda tercintanya. Aku sendiri tak sempat menyaksikan nenekku menghembuskan nafas terakhirnya. Yang kutahu waktu itu adalah, ibu dan bibiku menangis seperti menangisnya dua gadis kecil (seperti di foto di atas) ketika ditinggal ibunya. Sedangkan di sana, para lelakinya hanya terduduk diam dan tak berkata apa-apa, kecuali kakekku. Ia terus duduk di samping istrinya sembari beristighfar dan seakan memanggil serta berharap sang istri menjawabnya.

Hari-hari setelah itu pun terasa berbeda, terutama pada kakekku. Barangkali jika disandingkan dengan cerita di Film Habibie-Ainun atau bahkan dengan ceritanya langsung, itu tak jauh berbeda. Setiap pagi kakek selalu membuat segelas susu, seperti waktu-waktu kemarin sebelum nenek meninggal dunia. Ia masih menganggap itu kewajibannya setiap pagi. Dan siapa pun yang menghampirinya di pagi itu, akan ia minta untuk meminumnya sampai habis.

Satu hal lagi yang mungkin terlalu dini untuk dibicarakan, namun kakek meminta tanah kosong yang persis berada di sebelah nisan nenek tak diapa-apakan, “Ini untuk nisanku nanti.” Begitu pintanya. Sebegitukah cinta sejati dan dampaknya saat salah satunya telah pergi? Perempuan hebat memang kadang tak dilihat dari dirinya sendiri, tapi dari keluarganya; dari suaminya, anak-anaknya, dan lebih jauh lagi dari keluarga anak-anaknya suatu saat nanti.

Perjalanan hidupnya memang tak sederhana. Ia menikah saat bangsa ini sedang dalam usaha memerdekakan diri. Sejak menjadi seorang istri dan memiliki anak pertama, ia sering berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain. Bukan karena tidak ada tempat tinggal, namun untuk keselamatan diri dan anaknya. Maklum, sang suami adalah seorang pejuang di jaman prakemerdekaan. Sempat ia mengungsi ke Surabaya, dan dalam keadaan tak tentu dan jauh dari sanak famili, ia ditinggal berjuang oleh sang suami.

Pernah suatu ketika menurut cerita yang nenek wariskan pada ibu, waktu itu tentara Jepang datang, mendobrak pintu rumah sembari membentak dan bertanya dimana kakekku berada. Dengan kemampuannya berbahasa Jawa halus, sembari duduk tenang dan menimang si bayi, ia memberanikan diri untuk berpura-pura menjadi orang lokal dan menjawab seakan-akan tidak tahu apa yang ditanyakan kepadanya. Sederhananya, dalam situasi mencekam, salah langkah bisa hilang nyawa seseorang. Ketenangan dan kepasrahan mungkin adalah jalan terbaik yang nenek pikir saat itu. Perempuan hebat memang berbeda. Di saat-saat yang tak menentu dan tanpa sang suami, ia bisa mengambil sebuah keputusan dan sikap yang tepat.

Kini, sebagian besar anak-anaknya merantau beserta keluarganya masing-masing. Dua lelaki yang paling sulung kini berada di kota khatulistiwa, satunya lagi merantau ke kota Malang. Beberapa sudah lebih awal mendahuluinya. Dan dua terakhir, yang memang keduanya perempuan, diminta untuk tinggal di Madura. Sesuai budaya yang dianut sejak lama, anak perempuan, terlebih lagi bungsu, sering kali diminta untuk tidak merantau sekalipun telah berkeluarga. Mereka pun menjalankan peran bagi keluarganya masing-masing, menjadi orang tua bahkan semuanya sudah menjadi kakek dan nenek. Dan dua putri kecilnya tadi telah menjadi perempuan hebat di balik perempuan-perempuan hebat berikutnya, menggantikan perannya dahulu. 

Godfrey Winn, seorang penulis berkebangsaan Inggris di awal abad 20 pernah berkata, "Tidak ada pria sukses tanpa seorang perempuan di baliknya. Istri ataupun ibu, atau jika pun keduanya, ia sungguh mendapat dua kebaikan." Namun menurutku, makna ini lebih dari sekadar 'di baliknya'. Ialah di samping lelakinya, sang perempuan menemaninya menjadi hebat bersama. Dan nenekku, ia pergi meninggalkan kenangan begitu mendalam bagi tiga generasi. Keberadaannya mendamaikan, dan kepergiannya memberikan kerinduan.