Mereka Bertanya Kenapa Sekarang Aku Jarang Kelihatan

Sejak liburan semester 5 kemarin, aku memang jarang kelihatan di kampus.
Tepatnya setelah menyelesaikan amanah sebagai presiden kelompok studi fakultas Geography Study Club.

Menjelang liburan, mungkin dapat dibilang aku berada di kampus mulai jam 7 pagi sampai 11 malam. Untuk urusan kuliah, praktikum, organisasi, dan persiapan konferensi ke Jepang waktu itu. Jadi teman-teman sering melihatku hampir di setiap waktu.

Sekarang aku memang jarang kelihatan di kampus. Sebenarnya aku tidak kemana-mana. Pernah ada yang bertanya, kenapa sekarang kamu jarang kelihatan? Itu karena aku sedang memperbaiki pondasi. Pondasi apa? pondasi hidup.

Banyak hal yang dapat aku jadikan pelajaran selama liburan semester kemarin, terutama saat di Jepang. Juga saat di rumah sepulang dari Jepang. Dan di Jogja menjelang masuk semester 6. "Kenapa aku begitu banyak meluangkan waktu untuk target-target kecil dalam hidupku. Sementara target-target yang lebih besar sering ku lewati, atau ku tangguhkan". Nah, kira-kira begitu kalimatnya.

Sudah tahun ketiga, sudah saatnya kembali mengurus diri sendiri. Maksudku kembali berfokus pada diri sendiri. Banyak yang harus dibenahi. Sudah saatnya berpikir apa yang akan aku lakukan setelah ini, setelah S1 selesai. Apa yang harus aku persiapkan untuk menyelesaikan S1. Apa yang bisa aku bawa setelah selesai S1. Dan hal apa yang dapat memberikan kebaikan padaku selama S1 ini untuk hidupku keseluruhan. Itulah yang aku pikirkan akhir-akhir ini.

Aku merasa baik-baik aja, bahkan sepertinya ini waktu-waktu terbaik selama aku di Jogja, insya Allah.

Indahnya Kisah Hukum Di Jaman Umar





Umar sedang duduk beralas surban di bebayang pohon kurma dekat Masjid Nabawi. Sahabat di sekelilingnya bersyuraa bahas aneka soal. Tiga orang muda datang menghadap; 2 bersaudara berwajah marah yang mengapit pemuda lusuh nan tertunduk dalam belengguan mereka.



“Tegakkan keadilan untuk kami hai Amiral Mukminin”, ujar seorang, “Qishash-lah pembunuh ayah kami sebagai had atas kejahatannya!”


Umar bangkit. “Bertaqwalah pada Allah”, serunya pada semua. “Benarkah engkau membunuh ayah mereka wahai anak muda?”, selidiknya.



Pemuda itu menunduk sesal. “Benar wahai Amiral Mukminin!”, jawabnya ksatria. “Ceritakanlah pada kami kejadiannya!”, tukas Umar.



“Aku datang dari pedalaman yang jauh”, ungkapnya, “Kaumku mempercayakan berbagi urusan muamalah untuk kuseslesaikan di kota ini.”



“Saat sampai”, lanjutnya, “Kutambatkan untaku di satu tunggul kurma, lalu kutinggalkan ia. Begitu kembali, aku terkejut & terpana”



“Tampak olehku seorang lelaki tua sedang menyembelih untaku di lahan kebunnya yang tampak rusak terinjak & ragas-rigis tanamannya”



“Sungguh aku sangat marah & dengan murka kucabut pedang hingga terbunuhlah si bapak itu. Dialah rupanya ayah kedua saudaraku ini.”



“Wahai Amiral Mukminin”, ujar seorang penggugat, “Kau telah dengar pengakuannya, dan kami bisa hadirkan banyak saksi untuk itu.”



“Tegakkanlah had Allah atasnya!”, timpal nan lain. Umar galau & bimbang setelah mendengar lebih jauh kisah pemuda terdakwa itu.



“Sesungguhnya yang kalian tuntut ini pemuda shalih & baik”, ujar ‘Umar, “Dia membunuh ayah kalian karena khilaf kemarahan sesaat”



“Izinkan aku”, ujar Umar, “Meminta kalian berdua untuk memaafkannya dan akulah yang akan membayarkan Diyat atas kematian ayahmu.”



“Maaf hai Amiral Mukminin”, potong kedua pemuda dengan mata masih nyala memerah; sedih & marah, “Kami sangat sayangi ayah kami.”



“Bahkan andai harta sepenuh bumi dikumpulkan tuk buat kami kaya”, ujar salah satu, “Hati kami hanya kan ridha jiwa dibalas jiwa!”



Umar yang tumbuh simpati pada terdakwa yang dinilainya amanah, jujur, & bertanggungjawab; tetap kehabisan akal yakinkan penggugat



“Wahai Amiral Mukminin”, ujar pemuda tergugat itu dengan anggun & gagah, “Tegakkanlah hukum Allah, laksanakanlah Qishash atasku.”



“Aku ridha pada ketentuan Allah”, lanjutnya, “Hanya saja izinkan aku menunaikan semua amanah & kewajiban yang tertanggung ini.”



“Apa maksudmu?”, tanya hadirin. “Urusan muamalah kaumku”, ujar pemuda itu, “Berilah aku tangguh 3 hari untuk selesaikan semua.”



“Aku berjanji dengan nama Allah yang menetapkan Qishash dalam Al Quran, aku kan kembali 3 hari dari sekarang tuk serahkan jiwaku”



“Mana bisa begitu!”, teriak penggugat. “Nak”, ujar ‘Umar, “Tak punyakah kau kerabat & kenalan yang bisa kau limpahi urusan ini?”



“Sayangnya tidak hai Amiral Mukminin. Dan bagaimana pendapatmu jika kematianku masih menanggung hutang & tanggungan amanah lain?”



“Baik”, sahut ‘Umar, “Aku memberimu tangguh 3 hari; tapi harus ada seseorang yang menjaminmu bahwa kau tepat janji tuk kembali.”



“Aku tak memiliki seorangpun. Hanya Allah, hanya Allah, yang jadi penjaminku wahai orang-orang yang beriman padaNya”, rajuknya.



“Harus orang yang menjaminnya!”, ujar penggugat, “Andai pemuda ini ingkar janji, dia yang kan gantikan tempatnya tuk di-Qishash!”



“Jadikan aku penjaminnya hai Amiral Mukminin!”, sebuah suara berat & berwibawa menyeruak dari arah hadirin. Itu Salman Al Farisi.



“Salman?”, hardik Umar, “Demi Allah engkau belum mengenalnya! Demi Allah jangan main-main dengan urusan ini! Cabut kesediaanmu!”



“Pengenalanku padanya tak beda dengan pengenalanmu ya Umar”, ujar Salman, “Aku percaya padanya sebagaimana engkau mempercayainya”



Dengan berat hati, Umar melepas pemuda itu & menerima penjaminan yang dilakukan oleh Salman baginya. Tiga hari berlalu sudah.



Detik-detik menjelang eksekusi begitu menegangkan. Pemuda itu belum muncul. Umar gelisah mondar-mandir. Penggugat mendecak kecewa. Semua hadirin sangat khawatirkan Salman. Sahabat perantau negeri-pengembara iman itu mulia & tercinta di hati Rasul & sahabatnya.Mentari di hari batas nyaris terbenam; Salman dengan tentang & tawakkal melangtkah siap ke tempat Qishash. Isak pilu tertahan.Tetapi sesosok bayang berlari terengah dalam temaram, terseok terjerembab lalu bangkit & nyaris merangkak. “Itu dia!”, pekik Umar



Pemuda itu dengan tubuh berkuah peluh & nafas putus-putus ambruk ke pangkuan Umar. “Maafkan aku!”, ujarnya. “Hampir terlambat.”



“Urusan kaumku makan waktu. Kupacu tungganganku tanpa henti hingga ia sekarat di gurun & terpaksa kutinggalkan, lalu kuberlari..”



“Demi Allah”, ujar Umar sambil menenangkan & meminumi, “Bukankah engkau bisa lari dari hukuman ini? Mengapa susah payah kembali?”



“Supaya jangan sampai ada yang katakan”, ujar terdakwa itu dalam senyum, “Di kalangan muslimin tak ada lagi ksatria tepat janji.”



“Lalu kau hai Salman”, ujar Umar berkaca-kaca, “Mengapa mau-maunya kau jadi penjamin seseorang yang tak kau kenal sama-sekali?”



“Agar jangan sampai dikatakan”, jawab Salman teguh, “Di kalangan muslimin tak ada lagi saling percaya & menanggung beban saudara”



“Allahu Akbar!”, pekik 2 pemuda penggugat sambil memeluk terdakwanya, “Allah & kaum muslimin jadi saksi bahwa kami memaafkannya”



“Kalian”, kata Umar makin haru, “Apa maksudnya? Jadi kalian memaafkannya? Jadi dia tak jadi di-Qishash? Allahu Akbar! Mengapa?”



“Agar jangan ada yang merasa”, sahut keduanya masih terisak, “Di kalangan kaum muslimin tak ada lagi kemaafan & kasih sayang.”




-----
Diambil dari http://dazzdays.wordpress.com/2013/01/19/indahnya-kisah-hukum-di-jaman-umar/

Indonesia, From Laboratory to Industry and Community

Many scientists including young scientists (students) in Indonesia whose works stopped only in the laboratories and scientific journals. This happens because of discrepancies between educational and research agencies with industrial agencies and other stakeholders. So the follow-up of research results can not continue. And this situation happens continuously and is considered as natural condition in the community, but in fact there is something wrong. 

On the other hand, the Indonesian people are not fully aware of the conditions around and development of technology comprehensively. Businesses that they do often less productive because of competition. Thus creating the traditional markets and the modern markets. In fact, if they keep up with technology, of course what they trade in will up-to-date and increases their income. These facts become a barrier of society prosperity rising in Indonesia. 

I studied at the Universitas Gadjah Mada, in the fields of geography, especially in spatial analysis. In addition, i also joined the student activity unit in field of research called study club. I joined in two study clubs, one at the faculty level and the other at the university level. I joined both with aim to improve my research skill, because students is demanded more in this expertise. Many things i got from here. A year after joining, i was appointed as a president of the faculty study club. Some leadership experience that i have ever got was became a team leader of the scientific ideas paper about disaster victims evacuation strategy which was presented at the National Student Scientific Week in Makassar, 2011. And now the idea is being developed in my department. For another experience, i had the opportunity to be a speaker at the National Seminar themed “Tata Ruang Berbasis Bencana” in Yogyakarta, 2011. In November 2012, i was appointed as a responsible person of National Event named “Geo-environment Scholars Championship” for third year undergraduate students and graduated students. I also became a pioneer of research-based guided village in collaboration between some study clubs in the university. We have managed developing of biogas for daily household, increasing the quality of the rice planting, mapping the regional potential, and constructing a library for learning place.

I did these things as a form of concern to the community. Because students have a strategic role in integrating research and dedication, according to “Tri Dharma Perguruan Tinggi”. Students can directly apply the knowledge gained in the campus to the community. Their expertise also can be improved by means of research, especially interdisciplinary research. After I spend a lot of time to improving research and dedication in the faculty and the university, it is time i go on to the national level. Hopefully, with this decision, I can increase my experiences and networks. Then there will be more people that I can serve.

#Written as a requirement of YLI 2013. Wish Allah give best, i am approved. Aamiin..