Bismillah. Ini adalah tulisan dari seorang intelektual bernama Fahmi Amhar. Saya mengutipnya langsung dan sepenuhnya dari tulisan beliau di profil facebooknya. Semoga tulisan itu tak hilang dan bisa dibuka setiap waktu, maka saya simpan juga di blog ini.
BELAJAR MERAIH MULTI TARGET
Kadang ada pertanyaan yang diluncurkan kepada beberapa aktivis dakwah yang menurut mayoritas orang “sukses” dalam meraih multi-target. Maksud multi-target itu: dakwahnya sukses, sekolahnya sukses, keluarga sukses, dan karier atau bisnisnya juga sukses. Karena manusia itu memang mahluk multi-target. Memang ada nasehat, bahwa agar menjadi manusia yang istimewa, itu harus fokus, karena otak tidak bisa berpikir dua hal pada saat yang bersamaan. Itu benar. Tetapi, kita semua diberi waktu 24 jam sehari kan ? Dan toh tidak harus 24 jam itu hanya memikirkan satu hal saja, selamanya. Yang namanya ibadah saja, sholat misalnya, hanya diminta paling 5 x @ 10 menit. Di luar sholat ya mikir yang lain. Bahkan, di Qur’an Surat Al-Jumu’ah, itu malah diperintahkan agar habis sholat Jum’at, itu supaya “bertebaran mencari rizki Allah” – bukan malah duduk-duduk atau ngobrol di masjid.
Tapi sebelum lebih jauh, kata “sukses” sendiri mesti jelas ukurannya. Kalau ukuran dasar, bahwa itu sesuai dengan perintah Allah, ooo tentu saja. Tetapi kita biasa menilai kesuksesan dari output dibanding input. Dakwah disebut sukses kalau bisa merubah pikiran – dan lalu perilaku – orang yang mendengarkan, sehingga makin islami. Dan makin banyak orang yang bisa berubah, berarti makin sukses. Sekolah disebut sukses, kalau berhasil meraih level tertinggi dengan nilai baik, dan setelahnya mampu mengamalkan ilmunya itu, atau dijadikan rujukan dalam bidang keahliannya itu. Keluarga disebut sukses, kalau berhasil membangun rumah tangga yang harmonis, jauh dari konflik, sinergi dalam aktivitas, juga menghasilkan anak-anak yang shaleh/shalihah, sehat, cerdas dan juga sejak dini terikat dengan berbagai aktivitas positif. Sedang karier atau bisnis disebut sukses, kalau makin berkembang, makin memberi manfaat banyak orang, makin banyak menghasilkan zakat-infaq-shadaqah, dan bisa menjadi washilah membuka jejaring yang makin mendukung tercapainya visi.
Persoalannya, banyak aktivis dakwah yang ternyata kelabakan di jalan. Mereka yang merasa aktif dalam dakwah, ternyata ada yang sekolahnya jadi berantakan. Atau sekolah dan dakwah semula jalan, tetapi begitu masuk dunia kerja, langsung suaranya berangsung-angsur senyap … bahkan lama-lama hilang. Ada juga yang senyapnya ini setelah berkeluarga. Sebaliknya ada terus rajin sibuk dalam dakwah dan bisnis, tetapi keluarga kurang mendapatkan haknya, yang bahkan berujung pada sesuatu yang halal tetapi sangat dibenci Allah, sesuatu yang menggetarkan Arasy, yakni perceraian !!!
Karena setiap dari kita mendapatkan “anggaran” yang sama dari Allah, yaitu sehari 24 jam, maka tentu kita perlu belajar “best-practice” dari mereka yang terlebih dulu dapat kita identifikasi sebagai sukses meraih multi-target tersebut. Mungkin memang kelebihan tiap orang tidak sama, tetapi jelas mereka yang saya jadikan teladan, itu dapat disebut sukses, jauh di atas aktivis dakwah kebanyakan.
Ada yang saya lihat, pada saat itu usia beliau belum 40 tahun – pada saat dakwahnya sangat kencang – beliau sudah menjadi icon dakwah nasional, ternyata juga masih sempat menyelesaikan S2-nya, juga mendirikan sebuah sekolah dan perguruan tinggi Islam, juga menulis banyak sekali buku, juga sukses membangun lembaga konsultan bisnis & manajemen yang sudah bisa jalan sendiri, rumah tangganya juga tampak harmonis, masih sempat mengajak anak-anaknya liburan dsb.
Ada lagi – yang juga di usia muda – ini bahkan kelasnya sudah internasional. Eloknya, saat itu, meski sudah terkenal, tapi masih sempat meneruskan S3-nya di Luar Negeri, sambil terus memelihara berbagai cabang bisnisnya, dan terus mengembangkan sekolah yang dibangunnya, menulis beberapa textbook standar dan suatu ensiklopedi, menginspirasi banyak orang – seraya keluarganya sangat harmonis, padahal anaknya sedikitnya 7 orang.
Setelah saya pelajari, pribadi-pribadi ini ternyata memiliki ciri-ciri yang mirip:
1. Mereka relatif dini mengenali tujuan hidupnya. Ada yang sejak SD memang sudah “dekat dengan masjid”. Tetapi ada juga yang baru setelah SMA atau mahasiswa. Bahkan ada yang baru muallaf setelah sarjana. Tetapi sebelumnya, mereka sudah tergolong orang-orang yang “hanif” (=cinta kebenaran). Benar kata Nabi, “barangsiapa hebat di masa Jahiliyah, dia juga akan hebat dengan Islam”. Artinya, Nabi tidak menafikan bahwa di antara orang-orang yang belum berjuang dengan Islam-pun, bahkan belum muslim, ada yang memiliki kehebatan universal – seperti sikap cinta kebenaran (jujur), cenderung pada keadilan, rajin mencari ilmu, menjaga komitmen dalam bekerja, dan sebagainya. Nah, orang-orang seperti ini, di lingkungan manapun selalu akan dihargai, dan selalu tampak hebat.
1. Mereka relatif dini mengenali tujuan hidupnya. Ada yang sejak SD memang sudah “dekat dengan masjid”. Tetapi ada juga yang baru setelah SMA atau mahasiswa. Bahkan ada yang baru muallaf setelah sarjana. Tetapi sebelumnya, mereka sudah tergolong orang-orang yang “hanif” (=cinta kebenaran). Benar kata Nabi, “barangsiapa hebat di masa Jahiliyah, dia juga akan hebat dengan Islam”. Artinya, Nabi tidak menafikan bahwa di antara orang-orang yang belum berjuang dengan Islam-pun, bahkan belum muslim, ada yang memiliki kehebatan universal – seperti sikap cinta kebenaran (jujur), cenderung pada keadilan, rajin mencari ilmu, menjaga komitmen dalam bekerja, dan sebagainya. Nah, orang-orang seperti ini, di lingkungan manapun selalu akan dihargai, dan selalu tampak hebat.
2. Mereka relatif dini mempelajari segala ilmu yang mendukung meraih visinya. Ada yang sejak dini gemar membaca. Ada yang sejak SMA sudah rajin belajar menulis buku. Ada yang sejak mahasiswa sudah merintis bisnis. Benar kata pepatah: belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu, belajar di waktu dewasa bagai mengukir di atas air. Mereka juga sejak awal suka belajar sesuatu yang dapat meningkatkan kinerja hidupnya, sehingga dalam waktu yang sama, mereka dapat menyelesaikan lebih banyak pekerjaan daripada orang lain. Mereka belajar Cara Bekerja Efisien, Cara Memotivasi Orang Lain, Cara Mengotomatisasi Pekerjaan, dan sebagainya. Mereka juga akrab dengan biografi berbagai tokoh dunia. Karena itu mereka makin terinspirasi dan makin dapat membuat sebuah “road map” atau peta perjalanan hidupnya, dia mau meraih apa saja pada usia berapa, bersama siapa, dan dimana.
3. Dengan ilmu itu mereka dapat merinci visinya dalam tahapan-tahapan kecil yang lebih terukur, kemudian mereka istiqomah memenuhi tahapan-tahapan kecil itu. Ketidakmampuan merinci visi dalam tahapan kecil membuat seakan-akan semua target visi sebuah pekerjaan raksasa. Bagaimana bisa meraih gelar Doktor dalam usia kurang dari 30 tahun? Ya memang seperti tidak terjangkau dalam segala aspek: biaya – persiapan bahasa – topik dll. Tetapi kalau dirinci, kapan kita persiapan bahasa, kapan kita akan test TOEFL, kapan cadangan waktu mengulang kalau tidak sekali lulus, kapan kita akan mulai mengontak calon profesor dan mencari bahan untuk membuat proposal, dan sebagainya, maka semuanya pasti terasa terjangkau. Tapi sekali lagi, kemampuan merinci visi ini memerlukan ilmu yang lebih baik mulai dipelajari sedini mungkin.
4. Mereka percaya bahwa meramal masa depan itu mustahil, tetapi ikut merekayasa masa depan sangat mungkin. Karena itu cara terbaik mengetahui akan seperti apa masa depan kita, adalah aktif terlibat dalam upaya membentuk masa depan yang sesuai visi kita. Dari sini kita melihat bahwa aktivitas dakwah, sekolah, keluarga maupun karier/bisnis harus bermuara di titik yang sama – yaitu masa depan kita yang lebih baik, lebih bermartabat, lebih diridhoi Allah. Kalau untuk membangun sebuah gedung saja kita harus menguasai beberapa jenis ilmu, seperti ilmu bangunan yang didasari matematika atau fisika, juga ilmu manajemen proyek, maka berapa banyak ilmu yang harus kita kuasai untuk membangun sebuah negara ? Ini justru harusnya makin mendorong kita untuk lebih tekun dan lebih serius dalam belajar dan bekerja.
5. Mereka serius memikirkan prioritas amal (fiqih awlawiyat). Ketika amal dirinci pada bagian-bagian kecil, maka akan terlihat lebih jelas, mana amal wajib yang harus didahulukan, dan mana – amalan wajib pula – yang lebih longgar waktunya. Tidak berarti kalau dakwah menjadi aktivitas utama (poros hidup) lantas kewajiban pada keluarga harus selalu diterakhirkan ! Kita jangan berhenti pada yang makro atau besar-besar saja, tetapi memang harus rinci. Mengkaji kitab dalam halaqah adalah kewajiban, menjaga orang tua yang sakit juga kewajiban, ini tidak harus dibenturkan. Masih bisa disiasati, misalnya menjaga orang tua bergantian dengan saudara, atau kalau kondisinya memungkinkan: halaqahnya dilakukan di tempat di mana orang tua dirawat.
6. Sedapat mungkin satu aktivitas bisa disinergikan dengan aktivitas yang lain. Kalau kita ada tugas keluar kota, apa salahnya untuk sekaligus melakukan kontak pada orang yang seperjalanan di dalam bus atau pesawat. Atau jauh sebelum berangkat, kita memberitahu aktivis dakwah di tempat tujuan, bahwa keberadaan kita di sana siap dimanfaatkan untuk dakwah. Demikian juga, kalau kita ada agenda yang tidak jauh dari suatu tempat wisata, sementara anak-anak sedang liburan, bagaimana kita ke tempat yang diagendakan itu sambil membawa anak-anak dan didrop di tempat wisata itu bersama orang yang kita percaya, dan kita akan menyusulnya bila agenda kita selesai. Hal-hal semacam ini memang memerlukan “jam terbang”, sehingga lama-lama jadi habbit.
7. Segala 'infrastruktur' harus diupayakan mendukung target-target itu. Ini mulai dari memilih jenis dan lokasi pekerjaan, memilih lokasi tempat tinggal, memilih teknologi yang akan dipakai di rumah dan tempat aktivitas, bahkan memilih orang yang akan dijadikan pasangan hidupnya. Saya melihat ada aktivis dakwah yang ternyata setiap hari hilang waktu 2 x 2 jam untuk perjalanan pergi pulang ke tempat kerjanya. Dan selama itu dia praktis tidak dapat melakukan hal lain karena harus konsentrasi penuh mengendarai motor. Andaikata dia naik bus, barangkali bisa sambil membaca, menghafal Qur’an dengan mp3, atau sekalian kontak dakwah ke sesama penumpang. Atau barangkali jika dia bisa pindah rumah mendekati tempat kerjanya, mungkin yang 4 jam itu bisa produktif untuk yang lain.
8. Terus mengevaluasi diri dan mengoptimasi diri, sehingga beberapa kesalahan tidak terulang lagi, sedang beberapa pekerjaan yang berulang dan sudah diketahui sistem atau prosedurnya dengan jelas, dapat diotomatisasi atau didelegasikan pada orang yang telah kita kader. Dengan ini makin banyak lagi hal yang dapat kita raih, dan pada saat yang sama, makin banyak orang yang dapat merasakan manfaat kehadiran kita dalam hidupnya.
9. Tidak ada hentinya menyandarkan hasil kepada Allah. Karena meski kita telah mempersiapkan diri sedemikian rupa, Allah-lah yang memberi kesehatan dan kesempatan pada kita. Kalau Allah kehendaki, dapat saja Dia membuat kita sakit atau terkena musibah, sehingga segala rencana kita berantakan semua.
Selamat sukses menjadi mahluk multitarget.
Semangat memperbaiki diri. Semangat menjadi pribadi menginspirasi.