Pernahkah kau bermimpi, di suatu waktu yang telah lalu, untuk menikmati masa dengan berkarya di tempat terpencil dan jauh dari keramaian suatu hari nanti?
Pernahkah kau merasa telah menemukan satu tempat hidup yang nyaman dan ingin hari-hari selanjutnya tetap berada di sana?
Pernahkah kau, saat belajar dulu, menggeluti suatu hal baru, lalu menemukan satu hal yang lebih seru, lalu seketika harus beralih pada hal yang lain lagi karena niat yang sudah kaupegang lama, kemudian semuanya menyatu dan menyambutmu?
Pernahkah kau merencanakan dan mempersiapkan keahlian apa yang dapat kauberikan di masa depan, lalu hal itu menghampirimu sedikit lebih cepat dari yang kauperkirakan?
Lalu bagaimana rasanya jika jawaban setiap pertanyaan-pertanyaan itu adalah 'Ya' dan datang bersamaan? Dan pernahkah kau mengalaminya? Di sini, ijinkanlah aku bercerita..
"Kantor Parangtritis Geomaritime Science Park, Depok, Parangtritis, Kretek, Bantul, DIY." |
Sebagai lanjutan tulisan tepat sebelumnya, inilah cerita tentang tempat baruku saat ini, Parangtritis Geomaritime Science Park, sebuah program kolaborasi antara Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi, Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Badan Informasi Geospasial, Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, dan Pemerintah Kabupaten Bantul.
Mungkin semua ini berawal dari pengaruh film sains fiksi berjudul 'The Day after Tomorrow', tentang seorang ayah yang bekerja sebagai peneliti es di kutub utara, jauh dari keluarganya yang berada di Kota New York. Film itu cukup menginspirasi, membuatku tertarik untuk suatu saat nanti berkarya di tempat yang cukup sunyi, jauh dari keramaian, namun memiliki akses langsung ke pusat (semacam sebuah otoritas level federal/nasional). Sejak menonton film itu pula, aku memiliki keinginan untuk menjadi seorang peneliti. Yes, discovering new things that will benefit others.
Tentang Jogja, adalah cerita yang lebih panjang lagi, seperti yang telah kutulis dalam catatan bertajuk 'Niat dan Rasa Syukur', mulai dari guru SDku yang tiba-tiba mengajakku sekolah di Jogja selulus SD, sampai akhirnya aku berkesempatan menyelesaikan S1 di bumi Ngayogyakarto Hadiningkat ini. Tak cukup sampai di situ, pascalulus dan melanjutkan perantauan ke ibukota, aku memilih untuk kembali lagi ke Jogja. Itu bukan tanpa alasan, karena kenyataannya Jogja memang istimewa. Dan yang paling istimewa dari Jogja menurutku adalah begitu banyaknya majelis ilmu. Kesempatan untuk belajar terbuka lebar di sini. Biar dikata bukan ibukota, namun shortcut Jogja dalam hal ini tak kalah dengan tempat lainnya. Kadang justru Jogja menawarkan pilihan ilmu yang lebih lengkap. Sekelumit alasan untuk memilih Jogja tampaknya tak cukup untuk ditulis dalam satu paragraf saja. Sepertinya perlu dibuat tulisan tersendiri tentang Jogja, untuk menjelaskan mengapa sampai saat ini, sebagai tempat bermukim aku masih memilihnya.
Kuingin bercerita satu hal lagi. Dulu, apakah kita (kalian dan aku) di awal masa-masa kuliah sempat memilih satu fokus untuk terus didalami? Kurasa jawaban kita sama, Ya. Lalu di tengah perjalanan studi, fokus tersebut berpindah dari satu bidang ke bidang lainnya. Bisa jadi karena ada hal yang lebih menarik yang baru saja kita tahu. Kemudian setelah itu, di akhir masa kuliah, fokus tersebut harus diubah lagi karena sebuah alasan prinsipil, ingin mengambil tema penelitian di kampung halaman, sedangkan hal itu kurang relevan untuk dilakukan dengan fokus yang telah digeluti sebelumnya. Aku mengalaminya.
Di awal kuliah dulu, aku memiliki minat untuk menggeluti bidang kebencanaan, tentunya dengan ranah ilmu yang kupelajari, ilmu pemetaan dan peginderaan jauh. Bahkan pernah waktu itu di tahun pertama studi, dengan dukungan senior dan dosen pembimbing kami, aku dan dua orang temanku sempat berpartisipasi dalam sebuah Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional di Makassar, mengusung gagasan penelitian tentang strategi evakuasi korban bencana dengan memanfaatkan hasil pemotretan menggunakan UAV (unmanned aerial vehicle) atau yang saat ini lebih dikenal dengan sebutan drone. Waktu itu aku terus menggeluti bidang tersebut, sampai suatu saat ada hal baru yang lebih membuatku terkesan.
GIS (Geographic Information System), bisa dibilang ini adalah core dari ilmu-ilmu pengetahuan di bidang kebumian. Ini pendapatku pribadi. Kenapa kusebut core? Karena posisinya memang berada di tengah. Ilmu ini berperan pada tahap proses; menggunakan hasil ilmu lain sebagai masukan dan memberikan luaran untuk digunakan oleh ilmu yang lainnya lagi. Intinya, tanpa ilmu ini, ilmu-ilmu kebumian lainnya semacam saling tak tersambung. Seperti itu sederhananya. Sekali lagi, ini sepenuhnya pendapatku pribadi. Inilah yang menjadi fokus baru yang kugeluti selama lebih dari setengah masa studi S1. Dan memang, dosen pembimbing akademikku dikenal sebagai master dalam bidang ini di fakutlas tempatku belajar. Nasehat, dorongan, dan masukan (serta mungkin ekspektasi) beliau selama studi dulu turut berpengaruh dalam pertimbanganku memilih fokus tersebut.
"Bapak, setelah saya pertimbangkan insyaAllah saya akan mengambil tema garam untuk penelitian skripsi saya." Itu kalimat pertamaku saat konsultasi di awal semester 7 pada beliau. "Oh, nek ngono kowe mending nganggo PJ mas. Nek GIS kurang pas nggo neliti garam." Begitu kira-kira jawaban beliau. Kami sama-sama mengerti arah percakapan itu. Beliau menghargai pilihan yang kubuat, aku pun menghormati nasehat beliau. Baiklah, dengan pertimbangan dan hasil diskusi tersebut, kulanjutkan niatku untuk 'pulang', meneliti tentang garam dari sudut pandang ilmu yang sudah kupelajari selama ini. Sampai tibalah akhirnya perjalanan panjang menuntaskan skripsi itu selesai (to be written separately).
Pascalulus, kusampaikan kembali pada beliau tentang rencanaku selanjutnya. "Alhamdulillah, bapak. Skripsi saya sudah selesai. InsyaAllah ke depan saya akan meneruskan fokus saya sebelumnya, tentang GIS dan lebih khusus lagi Geospatial Analysis untuk studi lanjut." "Iya mas, silakan dilanjutkan." Begitu ucap beliau memberikan nasehat. Geospatial Analysis secara sederhana adalah terapan dari ilmu GIS. Boleh dikata, GIS itu ibarat kita belajar cara membuat kue; bahan apa saja yang dibutuhkan, berapa takaran dari tiap bahan, bagaimana cara mengolahnya, sampai akhirnya makanan itu jadi. Sedangkan Geospatial Analysis lebih pada untuk siapa kita membuat kue itu; untuk anak-anak atau orang dewasa, bagaimana tampilan kuenya, akan disajikan dalam bentuk apa dan berapa banyak, serta kandungan gizi mana yang harus diperbanyak atau dikurangi. Begitulah kira-kira perumpamaan sederhananya. Bidang Geospatial Analysis inilah yang insyaAllah akan kudalami lagi lebih lanjut dan menjadi keahlianku di masa depan. Aamiin.
Setelah itu tentang karir di masa depan. Di penghujung 2015 lalu, aku pernah membuat Future Plan di FB Notes. Sebenarnya itu sekadar tugas dari tempat les bahasa inggrisku, tapi sekalian kubuat lebih serius, berharap dapat menjadi doa dan penyemangat. Rencana hidup kadang memang dapat berubah dan bisa lebih dari satu. Jadi, ada baiknya rencana tersebut ditulis agar dapat lebih tervisualisasi dan ini adalah salah satunya. Di catatan yang kutulis itu, di masa depan nanti, aku berencana untuk berkarir dan berkarya di BIG (Badan Informasi Geospasial) dengan keahlian yang sebelumnya telah kupelajari dan kudalami selama menempuh S2. Qadarullah, rencana yang aku plot untuk bergabung dengan BIG di Oktober 2017 datang sedikit lebih cepat, bahkan sebelum aku mulai menempuh S2.
Aku mendapatkan kesempatan bergabung di BIG dengan posisi sebagai Analis Penginderaan Jauh dan Geodatabase. Di samping persyaratan umum yang lebih bersifat administratif, posisi ini memiliki persyaratan khusus antara lain: (1) S1 Penginderaan Jauh, (2) Mampu menyusun desain geodatabase, (3) Mampu melakukan inventarisasi dan foldering data informasi geospasial, (4) Mampu melakukan kegiatan pemetaan dan monitoring melalui pemotretan dengan wahana tanpa awak, (5) Mampu melakukan analisis data citra, dan (6) Bersedia ditempatkan di Parangtritis Geomaritime Science Park, Yogyakarta. Entah, semacam semua hal yang kuinginkan selama ini berkumpul dalam satu paket persyaratan tersebut.
Selain itu, jobdesk-ku di sini antara lain bergabung dalam Tim SRC (Satuan Reaksi Cepat/Quick Response Unit) untuk melakukan pemotretan udara di wilayah terdampak bencana, sebagai tugas dan fungsi Badan Informasi Geospasial dalam menyajikan informasi spasial kepada publik; melakukan riset dengan tema geomaritime; dan memfasilitasi kerja sama/pelatihan di bidang GIS dan Remote Sensing. Sedikit cerita pula tentang hal ini. Dulu di pertengahan kuliah, aku pun sempat menggeluti bidang marine (kelautan), dengan memilih tema marine saat KKL III di pesisir utara Pulau Bali dan juga melaksanakan KKN di pulau kecil bernama Jefman di Raja Ampat. Juga tentang semua dokumen-dokumen (khususnya softfile) kuliah dan praktikum yang masih kusimpan sampai saat ini, itu sangat membantu dalam menyusun materi-materi pelatihan dalam bidang-bidang ilmu yang sempat lebih dulu kupelajari.
Alhamdulillaahi Rabbil 'Aalamiin. Aku tak sempat berpikir tentang semua hal tersebut sejauh ini sebelumnya; tentang keinginan-keinginan dahulu yang kini datang bersamaan; tentang fragmen-fragmen fokus studi yang kini semua bermuara menjadi satu; tentang fokus studi yang akan kugeluti di masa depan; dan tentang Yogya, tempat belajar menemukan nilai dan makna kehidupan.
Hari ini tepat sebulan sudah waktu berlalu, sejak 3 April 2017, hari pertama aku berada di sana, bergabung dengan BIG dan ditempatkan di Parangtritis Geomaritime Science Park, Yogyakarta.
Kuingin bercerita satu hal lagi. Dulu, apakah kita (kalian dan aku) di awal masa-masa kuliah sempat memilih satu fokus untuk terus didalami? Kurasa jawaban kita sama, Ya. Lalu di tengah perjalanan studi, fokus tersebut berpindah dari satu bidang ke bidang lainnya. Bisa jadi karena ada hal yang lebih menarik yang baru saja kita tahu. Kemudian setelah itu, di akhir masa kuliah, fokus tersebut harus diubah lagi karena sebuah alasan prinsipil, ingin mengambil tema penelitian di kampung halaman, sedangkan hal itu kurang relevan untuk dilakukan dengan fokus yang telah digeluti sebelumnya. Aku mengalaminya.
Di awal kuliah dulu, aku memiliki minat untuk menggeluti bidang kebencanaan, tentunya dengan ranah ilmu yang kupelajari, ilmu pemetaan dan peginderaan jauh. Bahkan pernah waktu itu di tahun pertama studi, dengan dukungan senior dan dosen pembimbing kami, aku dan dua orang temanku sempat berpartisipasi dalam sebuah Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional di Makassar, mengusung gagasan penelitian tentang strategi evakuasi korban bencana dengan memanfaatkan hasil pemotretan menggunakan UAV (unmanned aerial vehicle) atau yang saat ini lebih dikenal dengan sebutan drone. Waktu itu aku terus menggeluti bidang tersebut, sampai suatu saat ada hal baru yang lebih membuatku terkesan.
GIS (Geographic Information System), bisa dibilang ini adalah core dari ilmu-ilmu pengetahuan di bidang kebumian. Ini pendapatku pribadi. Kenapa kusebut core? Karena posisinya memang berada di tengah. Ilmu ini berperan pada tahap proses; menggunakan hasil ilmu lain sebagai masukan dan memberikan luaran untuk digunakan oleh ilmu yang lainnya lagi. Intinya, tanpa ilmu ini, ilmu-ilmu kebumian lainnya semacam saling tak tersambung. Seperti itu sederhananya. Sekali lagi, ini sepenuhnya pendapatku pribadi. Inilah yang menjadi fokus baru yang kugeluti selama lebih dari setengah masa studi S1. Dan memang, dosen pembimbing akademikku dikenal sebagai master dalam bidang ini di fakutlas tempatku belajar. Nasehat, dorongan, dan masukan (serta mungkin ekspektasi) beliau selama studi dulu turut berpengaruh dalam pertimbanganku memilih fokus tersebut.
"Bapak, setelah saya pertimbangkan insyaAllah saya akan mengambil tema garam untuk penelitian skripsi saya." Itu kalimat pertamaku saat konsultasi di awal semester 7 pada beliau. "Oh, nek ngono kowe mending nganggo PJ mas. Nek GIS kurang pas nggo neliti garam." Begitu kira-kira jawaban beliau. Kami sama-sama mengerti arah percakapan itu. Beliau menghargai pilihan yang kubuat, aku pun menghormati nasehat beliau. Baiklah, dengan pertimbangan dan hasil diskusi tersebut, kulanjutkan niatku untuk 'pulang', meneliti tentang garam dari sudut pandang ilmu yang sudah kupelajari selama ini. Sampai tibalah akhirnya perjalanan panjang menuntaskan skripsi itu selesai (to be written separately).
Pascalulus, kusampaikan kembali pada beliau tentang rencanaku selanjutnya. "Alhamdulillah, bapak. Skripsi saya sudah selesai. InsyaAllah ke depan saya akan meneruskan fokus saya sebelumnya, tentang GIS dan lebih khusus lagi Geospatial Analysis untuk studi lanjut." "Iya mas, silakan dilanjutkan." Begitu ucap beliau memberikan nasehat. Geospatial Analysis secara sederhana adalah terapan dari ilmu GIS. Boleh dikata, GIS itu ibarat kita belajar cara membuat kue; bahan apa saja yang dibutuhkan, berapa takaran dari tiap bahan, bagaimana cara mengolahnya, sampai akhirnya makanan itu jadi. Sedangkan Geospatial Analysis lebih pada untuk siapa kita membuat kue itu; untuk anak-anak atau orang dewasa, bagaimana tampilan kuenya, akan disajikan dalam bentuk apa dan berapa banyak, serta kandungan gizi mana yang harus diperbanyak atau dikurangi. Begitulah kira-kira perumpamaan sederhananya. Bidang Geospatial Analysis inilah yang insyaAllah akan kudalami lagi lebih lanjut dan menjadi keahlianku di masa depan. Aamiin.
Setelah itu tentang karir di masa depan. Di penghujung 2015 lalu, aku pernah membuat Future Plan di FB Notes. Sebenarnya itu sekadar tugas dari tempat les bahasa inggrisku, tapi sekalian kubuat lebih serius, berharap dapat menjadi doa dan penyemangat. Rencana hidup kadang memang dapat berubah dan bisa lebih dari satu. Jadi, ada baiknya rencana tersebut ditulis agar dapat lebih tervisualisasi dan ini adalah salah satunya. Di catatan yang kutulis itu, di masa depan nanti, aku berencana untuk berkarir dan berkarya di BIG (Badan Informasi Geospasial) dengan keahlian yang sebelumnya telah kupelajari dan kudalami selama menempuh S2. Qadarullah, rencana yang aku plot untuk bergabung dengan BIG di Oktober 2017 datang sedikit lebih cepat, bahkan sebelum aku mulai menempuh S2.
Aku mendapatkan kesempatan bergabung di BIG dengan posisi sebagai Analis Penginderaan Jauh dan Geodatabase. Di samping persyaratan umum yang lebih bersifat administratif, posisi ini memiliki persyaratan khusus antara lain: (1) S1 Penginderaan Jauh, (2) Mampu menyusun desain geodatabase, (3) Mampu melakukan inventarisasi dan foldering data informasi geospasial, (4) Mampu melakukan kegiatan pemetaan dan monitoring melalui pemotretan dengan wahana tanpa awak, (5) Mampu melakukan analisis data citra, dan (6) Bersedia ditempatkan di Parangtritis Geomaritime Science Park, Yogyakarta. Entah, semacam semua hal yang kuinginkan selama ini berkumpul dalam satu paket persyaratan tersebut.
Selain itu, jobdesk-ku di sini antara lain bergabung dalam Tim SRC (Satuan Reaksi Cepat/Quick Response Unit) untuk melakukan pemotretan udara di wilayah terdampak bencana, sebagai tugas dan fungsi Badan Informasi Geospasial dalam menyajikan informasi spasial kepada publik; melakukan riset dengan tema geomaritime; dan memfasilitasi kerja sama/pelatihan di bidang GIS dan Remote Sensing. Sedikit cerita pula tentang hal ini. Dulu di pertengahan kuliah, aku pun sempat menggeluti bidang marine (kelautan), dengan memilih tema marine saat KKL III di pesisir utara Pulau Bali dan juga melaksanakan KKN di pulau kecil bernama Jefman di Raja Ampat. Juga tentang semua dokumen-dokumen (khususnya softfile) kuliah dan praktikum yang masih kusimpan sampai saat ini, itu sangat membantu dalam menyusun materi-materi pelatihan dalam bidang-bidang ilmu yang sempat lebih dulu kupelajari.
Alhamdulillaahi Rabbil 'Aalamiin. Aku tak sempat berpikir tentang semua hal tersebut sejauh ini sebelumnya; tentang keinginan-keinginan dahulu yang kini datang bersamaan; tentang fragmen-fragmen fokus studi yang kini semua bermuara menjadi satu; tentang fokus studi yang akan kugeluti di masa depan; dan tentang Yogya, tempat belajar menemukan nilai dan makna kehidupan.
Hari ini tepat sebulan sudah waktu berlalu, sejak 3 April 2017, hari pertama aku berada di sana, bergabung dengan BIG dan ditempatkan di Parangtritis Geomaritime Science Park, Yogyakarta.