Dari ayah aku mengerti, bahwa awan yang belum bercampur menjadi satu warna adalah pertanda hujan tidak akan segera datang. "Kamu lihat awan di sana, sebagian berwarna gelap, sebagian masih terang. Di sana ada yang besar, dan di bagian lain masih terpisah-pisah. Itu artinya masih lama hujan akan turun.", kata ayahku. Lantas aku bertanya, "Kenapa bisa begitu? Ramah (panggilan halus untuk ayah dalam Bahasa Madura, seperti Romo dalam Bahasa Jawa) tahu dari mana?". Dia menjawab, "Hujan itu kan berasal dari awan yang jadi mendung. Lalu awan terbuat dari apa? Dari uap air. Uap yang terpisah-pisah tidak akan jatuh karena terlalu ringan dan mudah terbawa angin. Tapi jika awan itu berkumpul jadi satu, maka akan semakin berat. Warna berubah semakin gelap. Uap air itu akan jatuh sebagai rintik hujan. Dari mana Ramah tahu? Belajar, baca buku, dan lihat langsung." Wajahku lalu terdiam, namun pikiranku bercabang memikirkan beberapa hal berbeda dalam satu waktu saat itu.
Aku kagum padanya. Dalam satu cerita singkatnya, ia memberikan pengalaman, pengetahuan, aplikasi ilmu, nalar, dan semangat, yang semuanya terhubung menjadi satu. Itu saat yang tak pernah aku lupa sampai kini. Aku menjadi suka belajar, bernalar, mengamati alam, dan menikmatinya keindahannya, termasuk hujan. Sedikit aku lupa umurku berapa kala itu, aku sekitar kelas dua SD. Percakapan itu terjadi ketika aku ingin mandi hujan di luar, namun ayahku bilang hujannya masih lama akan datang.
Singkat cerita, jauh setelah itu, ketika aku SMA, jumat siang selepas shalat di masjid, adikku menagih janjiku untuk pergi berenang di Kota Sampang. Rumah kami di desa, sekitar 30 km atau hampir setengah jam perjalanan menuju pusat kota. Ia pulang dari masjid lebih dulu, terlalu bersemangat untuk berenang. Aku pun membalas ajakannya, "Bilang dulu sama ramah kalo mau ke Sampang." Iapun menunggu ayah pulang dari masjid dan tetiba, "Mah, aku mau ke Sampang ya sama mas mau berenang?" Ayah membalas, "Ke Sampang gimana, lihat itu ada mendung sebentar lagi mau hujan (sambil jarinya menunjuk awan mendung di arah barat laut)." Dengan ekspresi sedikit kecewa adikku berkata, "Mas ga boleh ke Sampang, kata ramah mau hujan." Aku dengan senyuman membalas, "Kan yang mau hujan di sini, bukan di Sampang. Lihat itu awannya ada di barat dan Sampang ada di timur. Jadi kita ga bakal kehujanan." Dengan semangat ia berlari ke ayah dan bilang, "Mah kata mas yang mau hujan di sini, bukan di Sampang. Itu awannya kan di barat mau ke sini. Dan di timur langitnya cerah." kemudian ayahku tersenyum dan berkata, "Ya sudah kalo begitu, boleh ke Sampang. Tapi hati-hati." Dan adikku pun langsung berteriak, "Yeeee kita jadi berenang..."
Aku melihat senyum ayah saat memberi kami ijin. Seketika pun aku teringat saat kecil dulu, saat kejadian yang aku sebutkan di atas. Dalam benak aku berpikir, ekspresi wajah ayah menandakan ia bangga dan bahagia. Apa yang telah diajarkannya dulu, telah aku tangkap dan aku wariskan pada adikku. Lebih dari itu, pencapaian yang aku lewati sampai saat itu juga buah dari semangat dan pelajaran yang pernah ia tanamkan dulu, dan bahkan hingga diriku yang sekarang.
Kami pun melanjutkan perjalanan ke Kota Sampang, berenang. Dan benar dugaanku, tidak ada hujan di sana, cuaca cerah. Mendengar pembuktianku, adikku hanya tersenyum bodoh sambil mengangguk, memberi ekspresi terkesan. Aku yakin, ia juga menangkap apa yang waktu kecil dulu pernah aku tangkap langsung dari ayah.
Tentang hujan, aku selalu menyukainya. Ada suara, ada wujud, ada aroma, ada rasa, dan ada suhu. Ia membangkitkan panca indera ketika sedang turun. Aku bisa mendengarnya, aku bisa melihatnya, aku bisa menciumnya, aku bisa menikmati segarnya, dan aku bisa merasakan sejuknya. Ia membuat semuanya menjadi peka.
Ia pun dapat merekam memori, yang hanya bisa dibuka ketika musimnya telah kembali. Begitu khas, hingga tiap kejadian berbeda dapat terekam dengan baik. Masih ku ingat tentang memori masa kecilku jika hujan datang, saat aku berada di rumah. Masih bisa ku rasakan memori masa SMAku jika hujan datang, saat aku berada di sekolah.
Aku suka hujan. Ia menyimpan sejuta memori, yang bisa dibuka dimana saja ketika ia ada.
Aku suka hujan. Ia membangkitkan semua indera, membuatnya merekam memori secara khusus lalu dipadu dalam satu irama hujan.
Tentang hujan, aku menyukainya.